Poe Ibu, Dana Kencleng Ala Pemerintah

Poe Ibu-LenSaMediaNews

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih

Institut Literasi dan Peradaban

 

LenSaMediaNews.Com–Fakta Jawa Barat adalah wilayah dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia. Pada 2025, BPS (Badan Pusat Statistik) mencatat jumlah penduduknya mencapai 50,746 juta jiwa, jika setiap satu orang menyumbang Rp 1.000 sehari, maka dana yang terkumpul menyentuh Rp 50,476 miliar. Jika dikalikan sebulan 30 hari maka uang terkumpul bisa mencapai Rp 1,514 triliun (republika.co.id, 7-10-2025).

 

Kemudian jika dihitung berdasar per kepala keluarga (KK) sebesar Rp 1.000, maka dalam satu hari uang terkumpul sekitar Rp 13,695 miliar. Data BPS 2025, jumlah KK mencapai 13,695 juta jiwa. Sehingga bila dikalikan dalam sebulan maka uang yang terkumpul bisa dapat Rp 410,850 miliar.

 

Fakta-fakta inilah yang mendorong Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menginisasi gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu) atau donasi seribu rupiah setiap hari. Dedi meminta kepada segenap kepala daerah dari tingkat bupati dan wali kota berikut para camat, lurah, kepala desa hingga RW dan RT untuk berpartisipasi. Dana yang terkumpul diperuntukkan bagi pelayanan warga untuk tiga aspek yakni pendidikan, kesehatan, hingga masalah hukum (rejabar.republika.co.id, 5-10-2025).

 

Gerakan Poe Ibu tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor 149/PMD.03.04/KESRA tentang Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu), yang ditandatangani oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, pada 1 Oktober 2025. Meski demikian,  Poe Ibu hanya bersifat ajakan dan bukan kewajiban. Sebab menurut Dedi,  ini bukan hal baru di tengah masyarakat Jawa Barat, dulu dikenal dengan tradisi beras perelek dan tradisi jimpitan.

 

Kebijakan Populis Alihkan Tanggung Jawab Negara

 

Ternyata tidak semua warga menyetujui gerakan yang digagas Gubernurnya sendiri. Rivaldi (23 tahun), salah satu warga Bandung mengaku keberatan dengan gerakan sehari seribu bagi ASN, siswa sekolah atau masyarakat umum. Sebab yang berkewajiban membantu masyarakat tidak mampu adalah pemerintah. Apalagi rakyat sudah membayar pajak. Sungguh tidak etis jika masih dibebani dengan kewajiban yang bukan seharusnya.

 

Para pakar ekonomi juga mengkritisi gerakan ini akan memunculkan celah korupsi, kolusi dan nepotisme. Tak semestinya pemerintah menggagas kebijakan yang justru tumpang tindih dengan kebijakan lainnya. Bahkan dengan kelembagaan lainnya.

 

Kebijakan Populis Kapitalis

 

Tak heran dengan sosok KDM atau Kang Dedi Mulyadi yang selalu kontroversional. Bukan karena ia jenius, tapi ia pandai memanfaatkan momen untuk setiap kontennya.

 

Sangat populis namun kapitalis, seolah ringan dan menolong tapi tetap rakyat lagi yang menjadi obyek sasaran penderitaan. Lantas apa bedanya dengan pajak dalam berbagai bentuknya? Atau jaminan kesehatan BPJS yang diunggulkan konsep gotong royongnya, padahal yang terjadi si miskin menanggung yang kaya?

 

Bak membuat konten, menggalang solidaritas kaleng keliling untuk orang sakit atau bermasalah hukum  yang biasanya ramai di medsos. Masalahnya, ini kapasitas negara, mengapa tak malu mengedarkan uang kencleng untuk mengurusi kebutuhan rakyatnya?

 

Harus kita akui, APBD sejatinya memang bukan skema pembiayaan yang tangguh. Sebagaimana APBN, APBD pun posturnya terdiri dari pajak dan utang. Sementara pendapatan dari kekayaan alam sangat minim. Berharap bisa sejahtera dengan Kapitalis, bak punguk merindukan bulan, tak akan pernah bisa jadi kenyataan.

 

Islam Punya Sistem Keuangan Mumpuni

 

Semua kembali pada masalah modal, jika dana besar maka segala urusan bisa terselesaikan dengan benar. Masalahnya, dalam Sistem Kapitalisme, peran negara sangat minim. Sementara sektor investasi harus besar, sebagai bentuk kesepakatan negara dengan aturan global. Yaitu pasar bebas dan modal adalah penguasanya.

 

Inilah penjajahan dalam bentuk baru (neo imperialisme) berbalut istilah investasi, hibah , hilirisasi ataupun Proyek Strategis Nasional (PSN). Negara hanya berfungsi sebagai pembuat kebijakan, padahal ia diwajibkan mengurusi rakyat.

 

Dalam Islam, ada pembagian kepemilikan harta, yaitu harta milik individu, milik umum dan milik negara. Negara berdiri sebagai pengelola harta kepemilikan umum ( hasil tambang, hutan, laut dan lainnya) mewakili rakyat. Hasil pengelolaan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk zatnya (BBM, listrik, air dan lainnya) maupun dalam bentuk pembiayaan pembangunan fasilitas publik seperti sekolah, jembatan, rumah sakit dan lainnya.

 

Demikian pula dengan hasil pengelolaan harta milik negara, yang biasanya akan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk gaji ASN, jihad dan dakwah, dan lainnya. Termasuk jika ada kejadian mendadak seperti perang dan bencana. Tak ada kisah dalam sejarah peradaban Islam rakyat membayar sejumlah uang untuk sumbangan atau pun pembiayaan dalam keadaan darurat. Patutlah kita bertanya, apakah kita sudah memperjuangkan syariat kafah ini tegak di muka bumi, menggantikan Sistem Kapitalisme yang batil? Wallahulalam bish shawab. [LM/ry].