Sahabat Surgaku (Bagian 1)

Oleh M. Mush’ab Jundullah
(Kelas 7 IBS Al-Amri)
LensaMediaNews.com, Cerpen_ Cahaya pagi lembut menyinari kota. Suasana kota lengang dan sejuk.
Aku dan Syaid berjalan melewati bangunan yang hancur dengan membawa tempat makanan untuk mengambil makanan di pos.
“Idul, ayo lomba lari! Yang sampai pos duluan menang,” kata Syaid dengan semangat.
“Oke, siapa takut,” kataku percaya diri.
Aku pun berhitung dan mengambil persiapan lari.
“Satu, dua, tiga,” kataku setengah berteriak.
Aku dan Syaid berlari dengan cepat. Aku memimpin di depan, sedangkan Syaid di belakang.
Sementara itu, di markas Zionis, mereka sedang merencanakan sesuatu yang mengerikan.
Rudal balistik meluncur dari landasan. Senjata tanpa awak itu menuju gedung yang masih kokoh. Gedung yang akan kami lewati menuju pos.
Seperempat perjalanan aku dan Syaid mendengar suara rudal. Aku pun bersembunyi dalam gedung yang hancur, begitu juga dengan Syaid. Tiba-tiba ada suara bom meletus, “Blaarr”. Aku lantas melihat ke jalan yang hendak kami lewati. Di sana ada gedung yang hancur terkena bom.
“Syaid, kamu dengar tidak, ada suara merintih di gedung itu?” Aku berkata cemas.
Syaid mengangguk dan berkata, “Ayo kita bantu Idul!”
Kami pun bergegas ke gedung hancur itu. Sesampainya di sana, kami pun langsung membantu orang yang terjebak. Orang itu berhasil kami selamatkan. Aku dan Syaid membopongnya ke rumah sakit terdekat.
Selepas dari rumah sakit, aku dan Syaid bergegas menuju pos. Sesampainya di pos, kami melihat pos sunyi. Hanya menyisakan petugas yang bersih-bersih.
Aku memberanikan bertanya, “Assalamualaikum, Kak, apakah makanannya sudah habis?”
“Wa’alaikumussalam, maaf ya Dik, sudah habis”
“Tidak apa-apa besok kita bisa ambil lagi,” kata Syaid menyemangati.
Aku dan Syaid segera pergi meninggalkan pos.
Matahari pagi berganti siang, terik dan panas. Aku dan Syaid berteduh di bawah tenda pengungsian. Kami menahan lapar. Dikarenakan tidak makan, kami pun tidak bersemangat beraktivitas.
Tiba-tiba ada seseorang yang menuju tenda kami.
“Assalamu’alaikum, saya Sa’ad. Bisa dipanggil Paman Sa’ad,” kata seorang laki-laki yang baru kami kenal.
“Wa’alaikumussalam wa rahmatullah,” jawabku dan Syaid hampir bersamaan.
“Terima kasih ya sudah menolong saudaraku yang berada di gedung tadi. Sebagai tanda terima kasih, Paman berikan makanan untuk kalian.” Paman Sa’ad memberikan makanan kepadaku dan Syaid.
“Alhamdulillah, terima kasih Paman Sa’ad,” kataku dan Syaid bersamaan.
Paman Sa’ad meninggalkan kami dan berkata, “Sama-sama. Assalamu’alaikum, Paman pamit dulu!”
Aku dan Syaid makan dengan lahap. Sesudah makan kami pun salat zuhur berjamaah di masjid terdekat. Selepas salat kami berjalan–jalan menuju pemakaman massal. Di sana ada orangtua kami yang telah syahid. Kami berdoa agar masuk surga bersama-sama.
Sebelum aku pulang aku melihat-lihat sekeliling. Di sana ada banyak orang berziarah.
Di perjalanan kami melihat teman-teman bermain bola.
“Idul, Syaid, ayo main bola bersama kami,” seru Abdul, salah satu teman yang bermain bola.
Aku dan Syaid mengangguk. Kami ikut bermain bola. Aku di tim Abdul. Syaid di tim lawan.
Bola tengah. Timku mendapat bola. Abdul sebagai straiker mengumpan ke aku sebagai sayap kiri. Lalu, aku menggiring ke depan dan menggocek salah satu pemain lawan dan mengumpan dengan tendangan melambung ke arah teman timku. Syaid mengetahui bola mengarah ke temanku, ia mengambil bola dengan dadanya dan menggiring melewati Abdul. Abdul yang tidak menyadari bola telah melewatinya dan telah ditendang ke arah tim Syaid yang berada di dekat gawang. Ia langsung menyundul bola. Kipper tim Abdul menyadari bola akan memasuki gawang. Ia bergegas menepis bola dan out, tendangan pojok. Tendangan pojok telah ditendang oleh Syaid, kiper tim Abdul menangkap bola. Lalu, dilempar ke arah Abdul yang berada di depan. Ia bergegas menggiring ke arah gawang lawan. “Gooool,” tim Abdul bersorak. Bola telah masuk gawang tim Syaid. Skor sementara 1-0.
Terdengar suara azan berkumandang, waktunya salat asar. Kami semua pulang ke tenda untuk bersiap salat asar.
Sepulang dari salat asar aku dan teman-teman pergi ke pantai karena tempat pengungsian dekat dengan pantai, sekalian mendinginkan badan. Di pantai kami pun langsung lompat ke dalam air yang jernih dan segar.
Langit beranjak sore, bola matahari turun dari langit. Sungguh, sunset yang indah untuk dilihat, apalagi melihatnya di pantai.
“Syaid,” panggilku.
“Ya, Idul.”
“Ehm, apa kita akan bersahabat sampai di surga nanti?” tanyaku sedikit malu malu.
“Ya, kita akan bersahabat sampai di surga. Semoga kita masuk surga bersama!”
“Aamiin. Terima kasih sudah menemaniku, Syaid”
“Sama-sama.”
Kami saling berangkulan pulang ke tenda.
(Bersambung ke bagian 2)