Sekolah Kosong, Buramnya Sistem Pendidikan Kapitalistik

Sekolah kosong, LenSaMedia

Oleh: Anindya Vierdiana

 

LenSaMediaNews.Com–Tahun ajaran baru 2025/2026 kembali membuka ironi: ratusan sekolah dasar dan menengah negeri di berbagai daerah di Indonesia dilaporkan tidak mendapat siswa baru. Bahkan, ada yang tidak mampu melaksanakan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) karena nihil peserta. Ini bukan fenomena baru, melainkan krisis yang terus berulang setiap tahun.

 

Fenomena “sekolah kosong” kembali muncul pada tahun ajaran 2025/2026, dengan puluhan hingga ratusan SD dan SMP di berbagai daerah Indonesia gagal menerima siswa baru. Misalnya, di Temanggung, Jawa Tengah, dari 106 SD negeri hanya sekitar 10 pendaftar, bahkan beberapa hanya satu atau dua orang saja (rri.co.id 22-07-2025).

 

Di Kebumen, tercatat ada 643 SD negeri yang tidak terpenuhi kuota pendaftarnya ( detik.com 22-07-2025). Di daerah lain seperti Gunungkidul, Boyolali, dan Blora, banyak sekolah yang benar-benar tidak mendapat murid baru hingga tidak mampu mengadakan MPLS (arrahmah.id 16-07-2025).

 

Kondisi ini bukan sekadar statistik; ini adalah realitas yang memprihatinkan dan menjadi alarm bagi masa depan pendidikan nasional. Banyak faktor yang disebut sebagai penyebab: penurunan angka kelahiran, urbanisasi, ketimpangan persebaran penduduk, hingga kualitas sekolah negeri yang dinilai tidak memadai.

 

Ironisnya, di saat sekolah negeri kekurangan murid, sekolah swasta termasuk pesantren justru kebanjiran pendaftar, meski biaya masuknya tinggi. Artinya, masyarakat kini lebih percaya pada institusi pendidikan swasta ketimbang negara.

 

Ini menjadi sinyal kuat bahwa sistem pendidikan negeri kehilangan kepercayaan publik. Sekolah negeri yang dulu digemari karena murah dan berkualitas, kini ditinggalkan karena kualitasnya kian memudar. Orang tua rela membayar mahal agar anak mereka mendapat pendidikan lebih baik. Namun, benarkah pendidikan berkualitas harus mahal?

 

Faktanya, mahalnya biaya pendidikan adalah hasil dari Sistem Kapitalisme. Kapitalisme menjadikan pendidikan sebagai komoditas, bukan pelayanan negara. Pendidikan dipandang sebagai lahan bisnis, bukan hak dasar rakyat. Negara hanya berperan sebagai regulator kebijakan, bukan penyedia utama layanan pendidikan.

 

Dalam sistem ini, pendidikan yang baik hanya bisa diakses oleh mereka yang mampu secara finansial. Sementara rakyat kecil harus puas dengan sekolah yang seadanya, atau bahkan tidak bersekolah sama sekali.

 

Yang lebih menyedihkan, biaya mahal tidak selalu sebanding dengan kualitas. Banyak lulusan sekolah mahal yang hanya unggul di nilai akademik, tetapi miskin integritas dan tidak memiliki jati diri. Mereka tercerabut dari ruh ilmu yang seharusnya membentuk kepribadian mulia.

 

Sebaliknya, Islam memiliki paradigma yang sangat berbeda. Dalam Khilafah, pendidikan adalah kebutuhan publik yang wajib disediakan gratis, berkualitas, dan merata oleh negara. Rasulullah Saw. bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim” (HR. Ibnu Majah). Maka, negara wajib menjamin terselenggaranya pendidikan, bukan menyerahkannya kepada swasta atau pasar.

 

Sumber pendanaan pendidikan dalam Khilafah diambil dari Baitulmal, yang memiliki pos-pos pemasukan syar’i seperti fai, kharaj, jizyah, dan pengelolaan sumber daya alam. Bahkan jika kas negara kosong, pemungutan pajak sementara (dharibah) bisa dilakukan atas kaum muslimin kaya untuk membiayai sektor penting seperti pendidikan.

 

Dalam sejarah Islam, pendidikan gratis bukan utopia. Universitas seperti Al-Azhar, Nizamiyah, hingga sistem madrasah Islam di masa Abbasiyah dan Utsmani membuktikan bahwa negara Islam mampu menyediakan pendidikan unggul tanpa biaya. Guru-gurunya berkualitas, fasilitasnya memadai, dan muridnya datang dari berbagai penjuru dunia.

 

Oleh karena itu, solusi atas krisis pendidikan hari ini bukan sekadar membangun gedung atau menaikkan gaji guru. Solusinya adalah mengubah sistem. Selama pendidikan dikelola dalam kerangka Kapitalisme, maka pendidikan akan terus menjadi barang dagangan, bukan hak rakyat.

 

Saatnya umat menyadari bahwa hanya dalam sistem Islam yang menempatkan pendidikan sebagai amanah negara. Kita bisa mewujudkan pendidikan yang berkualitas, terjangkau, dan membentuk generasi berilmu dan bertakwa. Wallahu a’lam bishowab. [LM/ry].