Sepi Dalam Keramaian, Paradoks Sosmed Kapitalis

Sosmed-LenSaMediaNews

Oleh : Punky Purboyowati, S. S

 

LenSaMediaNews.Com–Di era digital, aktifitas manusia tak lepas dari gawai bahkan dianggap tak mampu hidup tanpa gawai. Namun anehnya justru mereka merasa kesepian.

 

Global Digital Reports dari data reportal melaporkan ada 5,25 miliyar orang yang aktif di media sosial (medsos). Namun tidak menghilangkan perasaan sepi. Video hiburan dan kisah personal membuat pengguna terasing di dunia nyata.

 

Hal ini menarik perhatian mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Mereka melakukan riset berjudul “Loneliness in the Crowd : Eksplorasi Literasi Media Digital pada fenomena Kesepian di TikTok melalui Konfigurasi Kajian Hiperrealitas Audiovisual”.

 

Menurut teori hipperealitas, representasi digital kerap dianggap lebih ‘nyata’ daripada realitas itu sendiri, sehingga emosi yang dibentuk media dapat memengaruhi kesehatan mental dan hubungan sosial seseorang. Dari itu perasaan yang terhubung bukan berarti menghilangkan perasaan sepinya. Ia aktif di dunia maya namun minim interaksi sosial. (detik.com, 18-09-2025).

 

Kapitalis Menciptakan Kesepian

 

Di tengah hiruk pikuk bermedsos, mirisnya Gen Z disebut generasi yang paling merasa kesepian, insecure bahkan mengalami gangguan kesehatan mental. Bukan sekedar persoalan kurang literasi digital dan manajemen penggunaannya. Namun ada kondisi yang membentuk kesepian. Kehidupan yang serba individual dan bebas, semakin merasa bahwa hidup menjadi lebih baik dengan gawai.

 

Pola pikir ini akibat dari sistem Kapitalisme sekuler yang menganggap materi lebih dari segalanya. Melalui industri teknologi, Kapitalis meraih manfaat keuntungan besar namun menimbulkan dampak buruk, diantaranya kesepian atau sikap asosial. Kapitalis membentuk karakter seseorang menjadi individualisme.

 

Di tambah era digital saat ini semakin super individual. Mereka tak mampu membagi waktu keluarga maupun di luar rumah. Sebagian mereka berpikir lebih baik membangun ‘kehidupan’ di medsos. Namun tak sadar terjebak hingga kecanduan gawai. Hal ini yang dirasakan anak-anak, merasa kesepian tak ada interaksi anak dan orangtua alhasil lebih banyak interaksi dengan gawai.

 

Dunia digital memang menawarkan banyak fitur hiburan untuk atasi kesepian. Seperti fenomena ‘nongkrong digital’ yang sebenarnya justru bikin kosong hati. Ada pun tren baru seperti Digital Companionship. Diantaranya Replika, paraDot AI yang dianggap ‘teman ngobrol’ atau ‘pacar digital’, robot yang bisa mengirim emoji peluk, bahkan konten di TikTok atau film yang dapat mewakili kondisi pengguna namun semua itu tetap tak mampu mengisi kekosongan jiwa. Seramai apapun di medsos, di dunia nyata tetap menjadi orang yang kesepian.

 

Alhasil, rusaklah hubungan antara keluarga dan masyarakat. Lebih dari itu bahayanya bagi kualitas generasi. Muncul generasi alay, cengeng, tidak produktif, serba instan, cuek dan tak siap menghadapi masa depan. Padahal mereka memiliki potensi besar dapat menghasilkan karya produktif dan inovatif, peduli pada problem masyarakat. Kapitalis jelas ingin mengubur mimpi generasi.

 

Islam Menjaga Interaksi Sosial

 

Islam memandang gawai sebagai teknologi yang hukumnya mubah,  boleh digunakan. Namun melarangnya ketika digunakan secara berlebihan hingga lupa menjalankan kewajiban dan hak pada Allah SWT. Teknologi dalam Islam dipandang sebagai sarana agar dapat mengembangkan dakwah Islam, memenuhi hak dan kewajiban pada Allah SWT serta mengharap ridaNya semata.

 

Seorang muslim harus berhati – hati terhadap penggunaan teknologi. Bila sudah kecanduan akan menjadi dharar (bahaya) sehingga berbuat dzalim pada diri sendiri. Terdapat kaidah fiqih : “Apa pun yang mengantarkan pada sesuatu yang haram, maka hukumnya haram”.

 

Kaidah ini mengacu pada prinsip bahwa sarana untuk melakukan sesuatu yang dilarang oleh syariat, maka hukumnya mengikuti hukum tujuannya, yaitu haram.

 

Islam menjadikan teknologi sebagai wasilah bukan tujuan. Islam mengatur penggunaan benda untuk mengikuti hukum Islam. Bukan keuntungan materi sebagaimana Kapitalis. Islam menjaga interaksi manusia bahwa manusia makhluk sosial yang saling membutuhkan. Negara Islam akan menjaga akal dan jiwa manusia agar berjalan sesuai fitrah, perintah dan laranganNya.

 

Teknologi dijadikan sebagai sarana mendekatkan diri pada Allah dan menjadikan Islam sebagai aktifitas utama menyolusi masalah umat. Teknologi tidak boleh diunggulkan melebihi agama. Sebagaimana hari ini,  agama menjadi nomor sekian yang dampaknya manusia tak mampu hadapi persoalan hidup karena jauh dari agama.

 

Peran negara sangat penting mengendalikan dunia digital dan mendorong generasi muda agar produktif meskipun berbagai teknologi canggih diciptakan, sehingga bisa berkontribusi untuk umat.

 

Generasi butuh perlindungan negara agar kembali pada habitatnya sebagai manusia berinteraksi sosial dan memperoleh martabat tinggi sebagai Khalifah fil ardhi. Semua hanya mampu dilakukan ketika aturan Islam dijadikan pedoman dan diterapkan oleh negara. Wallahu a’lam bissowab. [LM/ry].