Sepuluh Ribu di Tangan Istri, Cermin Gagalnya Negara Menyejahterakan Rakyat  

Blue Bold Service Coding Logo_20251016_052855_0000

Oleh: Ummu Haniyah

(Pengamat Kebijakan Publik)

 

 

Lensa Media News – Belakangan ini media sosial diramaikan oleh tren “Rp10 Ribu di Tangan Istri yang Tepat.” Dalam berbagai video di TikTok dan Instagram, para istri memperlihatkan kreativitas mereka mengolah uang belanja terbatas menjadi hidangan untuk keluarga. Sekilas, konten semacam ini tampak inspiratif. Namun jika dicermati lebih dalam, tren ini justru menyingkap wajah buram perekonomian Indonesia, wajah yang menunjukkan betapa beratnya perjuangan rakyat kecil untuk sekadar makan layak di tengah negeri yang kaya sumber daya.

 

Kemiskinan yang Dinormalisasi

Di balik konten “Rp10 ribu yang berkah” itu, tersembunyi kisah getir tentang kemiskinan struktural yang dialami jutaan keluarga Indonesia. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin pada September 2024 mencapai 25,22 juta jiwa atau 9,15% dari total populasi (BPS, Berita Resmi Statistik No. 13/02/Th. XXVIII, Februari 2025). Penyebab utamanya antara lain kenaikan harga beras, tarif listrik, dan biaya transportasi.

Fenomena ini sejalan dengan laporan Bank Dunia (Juni 2025) yang menyebutkan daya beli rumah tangga di Indonesia stagnan dan beban biaya hidup urban meningkat. Sementara itu, OECD Economic Survey (2025) mencatat, 40% rumah tangga terbawah menanggung 70% kenaikan harga pangan.

Namun, kesulitan ekonomi semacam ini seringkali direduksi menjadi persoalan rumah tangga belaka. Narasi publik diarahkan bahwa asal istri hemat dan kreatif, semua masalah selesai. Padahal ketika harga bahan pokok terus melambung, upah stagnan, dan lapangan kerja terbatas, seberapa jauh kehebatan seorang istri bisa bertahan dengan uang Rp10 ribu?

Tak bisa dipungkiri, narasi ini seperti penenang sosial di tengah keputusasaan rakyat. Kondisi yang menormalkan kemiskinan dan menutupi fakta bahwa akar persoalannya adalah kegagalan negara menjamin kesejahteraan warganya.

 

Negara Absen dari Dapur Rakyat

Pemerintah terus mengklaim pertumbuhan ekonomi membaik. Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan menargetkan pertumbuhan 5,2% di tahun 2025 (CNBC Indonesia, 14 Maret 2025). Namun pertumbuhan yang berorientasi angka makro tidak otomatis menurunkan kemiskinan. Laporan INDEF (2024–2025) menyebutkan, kebijakan fiskal Indonesia masih berpihak pada korporasi, bukan rumah tangga miskin.

Akibatnya, sektor-sektor vital seperti pangan, energi, dan pendidikan dikomersialisasi. Negara menyerahkan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat kepada mekanisme pasar. Maka ketika harga naik, rakyatlah yang harus menanggung beban, sementara negara hanya mengimbau untuk “hemat dan sabar.”

Dalam situasi ini, perempuan menjadi pihak yang paling terdampak. Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan 2024 melaporkan peningkatan kasus kekerasan ekonomi terhadap perempuan akibat tekanan biaya hidup. Di lapangan, para ibu harus menambal kekurangan nafkah suami dengan kerja informal, utang, atau bahkan mengorbankan kebutuhan sendiri.

Padahal, dalam sistem Islam, tanggung jawab kesejahteraan bukanlah beban rumah tangga semata, tetapi tanggung jawab negara sebagai pengurus urusan rakyat (raa’in). Rasulullah ﷺ bersabda:

Imam (khalifah) adalah pemelihara, dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.”

(HR. al-Bukhari dan Muslim)

Artinya, negara wajib memastikan setiap warga negara dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dengan layak. Bila seorang suami tidak mampu menafkahi keluarganya, maka negara wajib turun tangan melalui Baitul Mal, lembaga keuangan negara dalam sistem Islam.

 

Ekonomi Islam Menjamin, Bukan Menghibur

Islam memiliki pandangan ekonomi yang sangat berbeda dengan kapitalisme. Politik ekonomi Islam tidak bertujuan mengejar pertumbuhan angka, tetapi menjamin setiap individu rakyat mampu memenuhi kebutuhan dasarnya.

Sebagaimana dijelaskan oleh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam (Sistem Ekonomi Islam), negara menerapkan dua strategi besar:

1. Strategi umum: menghidupkan sektor-sektor produktif seperti pertanian, industri, perdagangan, dan jasa agar ekonomi rakyat bergerak sehat, di bawah kendali negara.

2. Strategi khusus: menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar setiap individu rakyat serta membuka kesempatan seluas-luasnya bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan sekunder dengan cara yang halal.

Islam juga menetapkan sumber pendapatan negara yang sah dan tidak menzalimi rakyat: zakat, kharaj, jizyah, fai’, dan ghanimah. Dana inilah yang digunakan untuk menjamin nafkah orang miskin, membiayai kesehatan, pendidikan, hingga pembangunan infrastruktur publik.

Khalifah Umar bin Khattab pernah mencontohkan hal ini. Dalam catatan Ibn Katsir (Tarikh Umar bin Khattab) disebutkan bahwa pada masanya, Baitul Mal sampai kelebihan harta karena tidak ada lagi rakyat miskin yang berhak menerima zakat. Rakyat hidup sejahtera karena negara menjalankan fungsi riayah (pengurusan rakyat) dengan adil dan amanah.

Allah ﷻ berfirman:

Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang telah Dia berikan kepadamu.” (QS. An-Nur: 33)

Ayat ini menegaskan bahwa harta hakikatnya milik Allah dan manusia hanyalah pengelola. Negara dalam Islam wajib mengatur distribusi kekayaan agar tidak hanya berputar di kalangan orang kaya saja, sebagaimana firman-Nya:

“Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. Al-Hasyr: 7)

Dengan demikian, tanggung jawab mengatasi kemiskinan bukan pada “istri yang kreatif,” melainkan pada negara yang wajib menjalankan syariat ekonomi Islam secara kaffah.

 

Saatnya Mengembalikan Peran Negara

Sudah saatnya kita berhenti menormalisasi kemiskinan dengan konten inspiratif semu. Istri yang cermat mengatur uang memang patut diapresiasi, namun kehebatan itu tak bisa menggantikan fungsi negara. Uang Rp10 ribu di tangan istri yang hebat memang bisa menciptakan keajaiban sesaat, tetapi selama sistem ekonominya rusak, kemiskinan akan tetap berulang.

Islam menawarkan sistem yang tidak hanya adil, tapi juga stabil. Negara Islam (Khilafah) tidak membiarkan rakyat hidup dalam kesempitan, melainkan memastikan setiap rumah tangga memiliki nafkah yang cukup. Inilah sistem yang pernah menyejahterakan umat selama berabad-abad tanpa perlu tren, tanpa perlu romantisasi kemiskinan.

Maka, alih-alih memviralkan perjuangan bertahan hidup dengan uang Rp10 ribu, sudah saatnya kita viralkan kesadaran untuk menuntut perubahan sistemik dari kapitalisme yang menelantarkan rakyat menuju Islam yang menyejahterakan dengan keadilan ilahi.

 

[LM/nr]