Sungguh Berat Pertanggungjawaban Pemimpin

Promo Makanan Kiriman Instagram_20250127_084922_0000

Oleh: Khalis Azizah

 

LenSa Media News _ Opini _ Beberapa waktu lalu tepatnya pada tanggal 20 Oktober 2024, Prabowo dan Gibran telah resmi dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Keduanya telah disumpah di bawah Kitab Suci Al-Qur’an pada sidang Paripurna MPR RI di Gedung Nusantara MPR/DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat. (Kemhan.go.id, 21-10-2024).

 

Sejumlah media asing menyoroti pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia dengan beragam narasi. Seperti Reuters yang menyebut pemerintahan Prabowo dibayang-bayangi oleh politik dinasti dan meningkatnya patronase lama. (Reuters.com, 20-10-2024)

 

Adapun dari media asal Singapura, Channel News Asia (CNA, 20-10-2024) menyoroti ihwal tak adanya oposisi di Indonesia. Ini karena Prabowo mengakomodasi partai politik ke dalam pemerintahannya yang gendut. Komposisi kabinet gendut ini tak bisa dilepaskan dari sistem politik demokrasi yang pragmatis dan transaksional.

 

Dalam pidatonya yang berapi-api, Prabowo bertekad akan memberantas korupsi. Namun, disinyalir para menteri dalam Kabinet Merah Putih justru banyak yang terjerat kasus korupsi. Hal ini ditegaskan oleh penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2005-2013 Abdullah Hehamahua. (Rasilnews, 18-10-2024)

 

Namun sayangnya, pidato yang cukup panjang itu hanya menyentuh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara saja, sedangkan yang menjadi biang masalah di negeri ini adalah masalah kekuatan oligarki kapitalis. Ada juga aspek yang tidak disebutkan oleh Prabowo dalam pidatonya, yakni ihwal beratnya pertanggung jawaban kepemimpinan kelak di akhirat. Yang tentu akan langsung berhadapan dengan Allah Swt.

 

Dalam Islam kepemimpinan atau kekuasaan memang sangat penting. Begitu pentingnya, Allah Swt mengajarkan kepada Rasulullah suatu do’a agar beliau diberi kekuasaan yang tentu bukan sembarang kekuasaan, tetapi kekuasaan yang bisa digunakan sebagai penolong agama-Nya.

Seperti yang Allah firmankan dalam Qur’an surah Al-Isra (17): 80:  “Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku, masukkanlah aku dengan cara masuk yang benar, dan keluarkanlah pula aku dengan cara keluar yang benar, serta berikanlah kepada diriku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong (Agama Allah).”

Sehingga dalam pandangan Islam, tidak ada artinya kekuasaan jika tidak digunakan untuk menegakkan Islam dan menyebarluaskan dakwah Islam. Tidak ada artinya pula kekuasaan jika tidak digunakan untuk mengurus berbagai urusan dan kepentingan rakyat dengan syariah Islam.

 

Karena itu dalam Islam, pemimpin haruslah orang yang adil dan amanah. Demikian pula para pembantunya, haruslah orang yang amanah sekaligus kompeten dengan tugasnya. Begitu pun dengan tugas kenegaraan yang seharusnya diberikan kepada orang yang memiliki karakter dan moralitas, salah satunya kejujuran. Selain itu, Islam juga menekankan pentingnya sistem yang baik untuk menjalankan kekuasaan. Sistem yang baik merujuk pada sistem pemerintahan yang berlandaskan akidah dan syariah Islam. Bukan yang didasarkan pada akidah dan sistem sekuler sebagaimana saat ini. Karena Allah telah menegaskan bahwa hanya sistem hukum-Nya yang baik dan wajib diambil dan diterapkan (Q.S Al-Maidah(5):50).

 

Dalam Islam, amanah kepemimpinan sejatinya merupakan sesuatu yang sangat menakutkan. Pasalnya, selain harus bertanggung jawab kepada rakyat di dunia, seorang pemimpin juga harus bertanggung jawab atas kepemimpinannya kelak di akhirat di hadapan Allah Swt. Karena itu dalam Islam, orang-orang yang diberi amanah dan tugas kepemimpinan haruslah mereka yang senantiasa menyadari akan beratnya pertanggung jawaban kepada Allah swt mereka lebih sadar beratnya amanah tersebut sehingga menjalankan kepemimpinan dengan sebaik mungkin dan tidak berani menyalahgunakan kekuasaan dan jabatan tersebut. Yang kini terjadi justru kebalikan dari yang disebutkan tadi karena mereka tidak memiliki rasa takut kepada Allah swt dan tidak menyadari akan mempertanggung jawabkan kekuasaannya di akhirat kelak.

 

Pada masa lalu, sepanjang era kekhalifahan Islam, tak sedikit yang enggan dipilih dan dibaiat menjadi khalifah. Jika pun pada akhirnya umat atau rakyat tetap memilih dan membaiat mereka sebagai khalifah, mereka amat terbebani dengan beratnya amanah yang mereka emban, mereka amat khawatir atas pertanggung jawaban kepemimpinan mereka di akhirat kelak di hadapan Allah Swt, sekalipun mereka adalah orang-orang yang shalih, adil dan amanah. Bahkan diantara mereka adalah sahabat Nabi saw yang terbaik.

 

Demikian contoh rasa kekhawatiran yang besar dari pemimpin Islam atau Khalifah pada masa lalu atas amanah kepemimpinan dan pertanggung jawabannya di hadapan Allah kelak di Akhirat. Tidak heran jika mereka benar-benar menjalankan amanah kepemimpinan mereka dengan sebaik-baiknya. Tentu agar kekuasaan atau kepemimpinan yang mereka emban di dunia ini tidak berubah menjadi penyesalan di akhirat kelak. Sedangkan bagaimana dengan para pemimpin saat ini?

 

Waallahu a’lam bishowab

(LM/SN)