Tepuk Sakinah Sebelum Nikah, Perlukah?

Oleh: Irwansyah
(Pegiat Sosial Media)
LensaMediaNews.com, Opini_ Video Tepuk Sakinah di Kantor Urusan Agama (KUA), sontak meramaikan media sosial. Dalam video itu, para peserta tampak menepuk tangan sambil mengucapkan lima nilai rumah tangga, seperti zawaj (berpasangan), mitsaqan ghalizan (janji kokoh), mu’asyarah bil ma’ruf (saling menghormati), musyawarah, dan taradhin (saling rida). Program ini bagian dari Bimbingan Perkawinan (Bimwin) yang digagas Kementerian Agama, tujuannya agar nilai keluarga sakinah lebih mudah diingat.
Kemenag menganggap metode ini efektif. Beberapa KUA melaporkan bahwa peserta Bimwin lebih antusias dan tidak mudah bosan. Bahkan, survei kecil di KUA Bulu, Temanggung, mencatat 91,7 persen peserta menyukai metode ini karena dianggap ringan dan mudah diingat. Tapi di sisi lain, banyak juga yang merasa risih. Di media sosial, komentar yang muncul beragam. Ada yang bilang lucu, ada yang malu, ada juga yang menilai ini cuma gimik agar KUA terlihat modern.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana lembaga agama kini mencoba tampil kekinian. Di tengah derasnya budaya viral, instansi keagamaan memang dituntut kreatif supaya pesannya tidak tenggelam. Tapi persoalannya, jangan sampai demi terlihat “dekat dengan anak muda”, makna sakral pernikahan justru direduksi jadi sekadar hiburan.
Kalau mau jujur, banyak masyarakat menganggap Tepuk Sakinah ini lebih cocok untuk taman kanak-kanak ketimbang calon pasangan hidup. Menikah bukan acara seremonial biasa, ia adalah perjanjian besar di hadapan Allah. Jadi wajar kalau sebagian orang menilai cara seperti ini terlalu ringan untuk sesuatu yang seserius pernikahan.
Dari sisi substansi, nilai yang disampaikan lewat Tepuk Sakinah sebenarnya baik. Islam memang menekankan pernikahan yang dibangun atas dasar saling menghormati, rida, dan komitmen kuat. Tapi persoalannya bukan pada nilai, melainkan pada cara penyampaian. Ketika nilai-nilai agama dikemas dalam bentuk yel-yel dan tepuk tangan, ada risiko pesan jadi dangkal, tak lagi menggugah kesadaran.
Islam memandang pernikahan bukan hanya urusan administratif, tapi juga spiritual dan sosial. Ia menuntut kesiapan iman, tanggung jawab, dan keseriusan. Karena itu, pembinaan pranikah semestinya fokus memperkuat hal-hal seperti komunikasi suami istri, manajemen konflik, kesiapan finansial, hingga pendidikan anak. Kalau yang ditekankan justru yel-yel, maka pembinaan itu kehilangan ruhnya.
Kementerian Agama seharusnya memperjelas posisi Tepuk Sakinah agar tak disalahartikan publik. Ia bukan syarat sah nikah, apalagi ritual wajib. Hanya metode belajar interaktif yang sifatnya tambahan. Penegasan ini penting supaya tidak muncul kesan bahwa semua calon pengantin wajib “tepuk-tepuk” dulu sebelum akad.
Tentu tak salah bila Kemenag ingin menyesuaikan dengan zaman. Tapi pembaruan dalam dakwah dan pendidikan agama sebaiknya tetap berpegang pada esensi, bukan sekadar ikut tren. Kalau bentuk mengalahkan isi, nilai-nilai syariat bisa tergeser oleh sensasi sesaat.
Ke depan, program Bimwin seharusnya diperkuat dengan hal-hal yang lebih substansial: konseling pranikah, pelatihan komunikasi keluarga, bimbingan finansial, dan penguatan spiritualitas calon pasangan. Tepuk Sakinah boleh jadi selingan, tapi jangan jadi inti. Pendidikan yang mendalam akan jauh lebih membantu pasangan muda memahami arti sakinah yang sesungguhnya.
Islam sangat menghargai kreativitas dalam berdakwah, tapi ia juga menegaskan bahwa ibadah dan pendidikan agama harus disampaikan dengan hikmah, bukan main-main. Ketika simbol lebih menonjol daripada makna, yang tersisa hanyalah ritual tanpa ruh.
Sakinah, mawaddah, dan rahmah tidak lahir dari tepukan tangan, melainkan dari hati yang tunduk pada aturan Allah. Dari pasangan yang saling mendukung dalam kebaikan dan menegakkan kebenaran. Kalau nilai-nilai itu sungguh dipahami dan diamalkan, maka tanpa perlu Tepuk Sakinah pun, keluarga yang sakinah akan tumbuh dengan sendirinya. Wallahu a’lam.