Tragedi Al-Khoziny Mengusik Nurani

Oleh Syifa Ummu Azka
LensaMediaNews.com, Opini_ Luka di Balik Reruntuhan
Suasana duka menyelimuti Sidoarjo ketika gedung empat lantai Pondok Pesantren Al-Khoziny ambruk dan menimpa para santri yang tengah menunaikan salat Asar. Sekitar 160 orang menjadi korban, dan 37 di antaranya meninggal dunia (Detik, 06/10/2025). Proses evakuasi berjalan lambat karena tebalnya puing dan struktur bangunan yang tidak stabil (Metrotvnews, 06/10/2025).
Peristiwa ini mengguncang nurani banyak pihak. Pesantren bukan hanya tempat menuntut ilmu, tetapi rumah kedua bagi ribuan anak bangsa yang memperdalam agama dan membentuk akhlak. Dalam kesunyian musibah itu, masyarakat bertanya-tanya: mengapa bangunan pesantren bisa runtuh dengan mudah, dan ke mana tanggung jawab negara yang seharusnya melindungi lembaga pendidikan?
Akar Masalah yang Terlupakan
Penyelidikan sementara menunjukkan penyebab utama ambruknya bangunan adalah lemahnya konstruksi dan minimnya pengawasan pembangunan. Banyak pesantren berdiri dengan dana swadaya wali santri dan donatur yang terbatas, tanpa arahan teknis yang memadai. Akibatnya, keamanan bangunan sering kali diabaikan, sementara pengawasan dari otoritas terkait hampir tak terlihat.
Kondisi ini memperlihatkan ketimpangan yang sudah lama terjadi. Pendidikan agama sering kali dianggap urusan masyarakat, bukan kewajiban negara. Padahal, pesantren telah berjasa besar membina moral dan spiritual generasi muda. Ketika tanggung jawab negara diserahkan kepada masyarakat, maka keselamatan para santri pun terancam oleh keterbatasan dana dan lemahnya regulasi.
Ironisnya, pemerintah baru bereaksi setelah tragedi terjadi. Menteri Agama menyatakan akan mengevaluasi bangunan pesantren dan rumah ibadah (Kompas, 07/10/2025). Namun tanpa perubahan sistemik, langkah itu hanya akan menjadi rutinitas birokrasi tanpa makna.
Menemukan Jalan Keadilan
Islam menempatkan pendidikan sebagai kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi negara. Negara tidak boleh hanya berperan sebagai pengawas, melainkan wajib menyediakan sarana dan prasarana yang aman, nyaman, dan bermutu bagi seluruh rakyat. Rasulullah ﷺ bersabda, “Imam (pemimpin) adalah pengurus dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam sistem Islam, pendanaan pendidikan diambil dari Baitul Mal, bukan dari sumbangan masyarakat atau pinjaman berbunga. Dengan begitu, pendidikan dapat berjalan tanpa beban ekonomi dan tanpa mengorbankan keselamatan. Islam memastikan seluruh lembaga pendidikan berdiri di atas dasar tanggung jawab negara, bukan belas kasihan umat.
Sayangnya, sistem yang berlaku kini masih berpijak pada paradigma kapitalistik yang menyerahkan urusan pendidikan kepada kemampuan individu. Evaluasi bangunan atau revisi peraturan tidak akan menyentuh akar persoalan selama sistem yang mendasarinya tetap parsial.
Solusi hakiki hanya dapat terwujud melalui kehadiran negara yang menerapkan Islam secara menyeluruh, bukan simbolik atau esensial. Dalam sistem Islam kaffah, seluruh aspek kehidupan termasuk pendidikan diatur berdasarkan prinsip amanah, keadilan, dan tanggung jawab pemimpin terhadap rakyatnya. Negara yang berlandaskan syariat tidak akan membiarkan satu pun pondok berdiri di atas fondasi rapuh, baik secara fisik maupun moral.
Pendidikan yang aman dan bermartabat hanya lahir dari sistem yang benar. Dari reruntuhan Al-Khoziny, kita belajar bahwa kemajuan bangsa bukan diukur dari banyaknya gedung, melainkan dari kokohnya nilai dan sistem yang menopangnya. Bila negara menegakkan Islam secara kaffah, setiap lembaga ilmu akan berdiri tegak bukan hanya dengan bata dan semen, tetapi dengan keimanan dan amanah kepemimpinan.