Transfer Data Pribadi WNI ke AS, Salahkah?

Oleh Ferrina Mustika Dewi
(Penggiat Dakwah Remaja)
LensaMediaNews.com, Rubrik Remaja_ Publik ramai dengan Kesepakatan AS dengan Indonesia terkait pemangkasan tarif impor. Dari Gedung Putih dirilis sejumlah kesepakatan perdagangan yang baru bagi AS dan Indonesia. Salah satunya yaitu menghapus hambatan dari perdagangan digital yang menjadi syarat, yaitu AS meminta data pribadi WNI bisa ditransfer ke AS. Agar tarif iimpor tersebut turun menjadi 19 persen.
Hasan Nasbi, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan menjelaskan kesepakatan transfer data dengan AS sudah berlandaskan pada Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) atau UU No. 27 Tahun 2022. Hasan Nasbi juga menyebutkan transfer data juga sudah dilakukan sebelumnya ke berbagai negara, seperti ke Eropa. Menurutnya, itu merupakan bagian dari kesepakatan bilateral yang penerapannya dilakukan dengan pertanggungjawaban yang matang (indonesia.go.id, 28/07/2025).
Selain itu, Nezar Patria selaku Wakil Menteri Komunikasi dan Digital menjelaskan Indonesia telah memegang prinsip perpindahan data secara kuat dan adanya ketentuan apabila ada yang tidak sesuai dengan standar yang telah diatur. Maka dalam proses transfer data, tetap harus mendapatkan persetujuan pemilik data terlebih dahulu (www.antaranews.com, 28/07/2025).
Meski demikian, kesepakatan ini memunculkan sorotan dari beberapa pihak. Banyak yang berspekulasi keamanan data masyarakat Indonesia dipertaruhkan. Pratama Persadha, Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC menilai pernyataan dari Gedung Putih tidak hanya sebagai bentuk kerja sama semata, melainkan sinyal geopolitk penting yang perlu dicermati oleh pemerintah Indonesia. Dominasi AS yang dapat mengendalikan Indonesia sepenuhnya bukan lagi mencakup Sumber Daya Alam (SDA), tapi juga akses data warga Indonesia dipegang dan dikontrol oleh AS.
Seharusnya negara memiliki prinsip yang kukuh dan kuat, tidak sembarangan menerima kesepakatan yang membahayakan. Namun seperti makan buah simalakama, ini adalah bagian dari konsekuensi penerapan sistem yang dijajakan AS, yakni sistem Kapitalisme-Sekuler.
Dalam Islam, Negara (Khilafah) sejak awal sudah harus mengatur ketat keamanan data warga negaranya. Sebab Islam memahami Khilafah berfungsi sebagai junnah bagi rakyatnya.
Dari Abu Hurairah radhiyallâhu ’anhu. bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda,
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
“Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR Muttafaqun ’Alayh dll.)
Al-Imam (Khalifah) wajib melindungi rakyatnya dari kejahatan yang mengintai, baik dari dunia nyata maupun dunia maya. Terlebih, kejahatan di dunia maya yang akhir-akhir ini menyalahgunakan data masyarakat sering terjadi sampai lintas wilayah atau negara. Dunia maya atau digital yang tanpa batas ini bisa mengancam nyawa. Contohnya seseorang yang berkenalan di sosial media hingga berujung penipuan, pemerasan, perampokan, pemerkosaan, dan pembunuhan.
Belum lagi, kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) sampai penyerangan satu negara ke negara lainnya. Ini jelas membuktikan bahwa ketika negara tidak hadir sebagai pelindung rakyatnya, akan ada banyak kejahatan yang muncul.
Dalam sistem Islam, perlindungan Khalifah terhadap rakyatnya terkait dengan penerapan hukum Islam membawa kepada keamanan dan ketenteraman sesungguhnya. Khalifah akan menjaga masyarakat semuanya, dimulai dari menjaga agama, menjaga jiwa (hifdz an-nafs), menjaga akal (hifdz al-`aql), menjaga keturunan (hifdz an-nasl), dan menjaga harta (hifdz al-mal). Penerapan sistem Islam yang menyeluruh sudah teruji dan mampu berdiri selama 13 abad lamanya, serta menguasai 2/3 dunia dengan aturan Islam kaffah yang tak membebek pada sistem negara lain. Wallahu’alam bishshawab.[]