Tunjangan Anggota DPR Fantastis, Rakyat Makin Krisis

Oleh : Nina Marlina, A.Md
Aktivis Muslimah
LenSaMediaNews.Com–Siapa yang tak bahagia saat mendapat tunjangan hingga ratusan juta rupiah? Itulah yang saat ini dirasakan para anggota DPR. Bahkan beberapa waktu lalu sebagian dari mereka berjoget kegirangan karenanya.
Namun, tidakkah mereka ingat kepada rakyat yang sedang menderita? Sungguh tidak layak sebagai wakil rakyat, mereka menari di atas penderitaan rakyat.
Wakil Ketua DPR Adies Kadir menegaskan gaji pokok anggota DPR tidak mengalami kenaikan. Gajinya masih berkisar Rp 6,5 juta hingga Rp 7 juta. Adapun yang mengalami kenaikan adalah komponen tunjangan.
Diantaranya adalah tunjangan perumahan senilai lebih kurang Rp 50 juta per bulan, tunjangan beras senilai Rp 12 juta, tunjangan bensin Rp 7 juta, dan tunjangan makan yang disesuaikan dengan indeks saat ini.
Adies mengatakan kenaikan tunjangan para legislator itu karena Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati merasa iba dengan kawan-kawan di DPR. Ia pun merasa berterima kasih atas hal itu (Tempo.co, 19-8-2025).
Sementara itu, dengan penghasilan yang didapat Anggota DPR menjadi lebih dari Rp 100 juta per bulan mendapatkan sorotan dari berbagai pihak. Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat, menilai besarnya pendapatan anggota DPR dinilai menyakiti perasaan rakyat, pasalnya rakyat sedang dihadapkan dengan berbagai gejolak ekonomi.
Ia pun menambahkan bahwa kenaikan pendapatan tersebut tidak sensitif kepada kondisi ekonomi masyarakat yang sedang terpukul. Saat ini, masyarakat tengah dihadapi oleh gelombang PHK massal, hingga lonjakan tarif pajak bumi dan bangunan (PBB) di sejumlah daerah.
Apalagi, berbagai pukulan tersebut datang akibat kebijakan pemerintah melakukan efisiensi anggaran sehingga memberikan efek domino kepada masyarakat (Beritasatu.com, 20-8-2025).
Rakyat Makin Merana
Memang benar kenaikan tunjangan di tengah kesulitan rakyat sungguh tidak menunjukkan empati. Namun sejatinya kesenjangan adalah keniscayaan dalam Sistem Demokrasi Kapitalisme.
Para wakil rakyat hidup dalam kesenangan dan kemewahan. Sementara itu, rakyatnya harus menanggung beban hidup sendirian. Dibayangi kemiskinan dan nyaris kelaparan. Mereka lupa bahwa rakyatlah yang telah memilih mereka hingga bisa duduk di kursi kekuasaan.
Dalam Sistem Demokrasi Kapitalisme, politik transaksional pun adalah keniscayaan, karena materi adalah tujuan. Bahkan merekalah yang menentukan besaran anggaran (budgeting) untuk kepentingan mereka sendiri. Kenaikan tunjangan dalam kondisi saat ini tentu bukan kebijakan yang bijak.
Jabatan dijadikan alat untuk memperkaya diri. Bukan mengabdi kepada negara, apalagi mengurus rakyat. Bahkan kebijakan yang lahir pun seringkali menyengsarakan rakyat, karena lebih berpihak kepada kepentingan kapitalis.
Sungguh ironis, sebagai wakil rakyat tapi hilang empatinya kepada rakyat yang diwakilinya. Mereka pun abai akan amanahnya sebagai wakil rakyat ini. Padahal gaji mereka didapat dari uang rakyat, termasuk pajak yang dijadikan sumber utama pendapatan negara bahkan negara terus menciptakan berbagai objek pajak baru.
Rakyat pun menilai bahwa pendapatan wakil rakyat yang fantastis tidak sebanding dengan kinerja mereka yang belum optimal. Pengeluaran tersebut dianggap pemborosan dana APBN.
Wajar saja, rakyat pun marah dan melakukan aksi penolakan atas kebijakan ini. Kita pun telah mengetahui bersama bahwa selama ini DPR justru selalu sejalan dan meluluskan berbagai kebijakan negara yang justru merugikan rakyat.
Majelis Umat, Wakil Rakyat dalam Pemerintahan Islam
Sesungguhnya dalam pemerintahan Islam ada orang-orang yang mewakili rakyat dan sebagai representasi mereka. Orang-orang tersebut tergabung dalam lembaga negara bernama Majelis Umat. Mereka adalah wakil rakyat untuk menyampaikan pendapat kepada Khalifah atau penguasa dalam pemerintahan Islam.
Akan tetapi ada perbedaan tugas wakil rakyat dalam Sistem Demokrasi dan Islam. Dalam Islam, asas pemilihan anggota Majelis Umat adalah akidah Islam. Selain itu menjadikan syariat Allah Swt. sebagai pedoman sehingga tidak akan membuat aturan atau undang-undang yang berasal dari akal manusia bahkan bertentangan dengan syariat.
Seorang muslim harus menyadari bahwa setiap jabatan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt., termasuk amanah sebagai anggota Majelis umat. Jabatan tidak akan dimanfaatkan untuk mencari keuntungan pribadi. Keimanan pun akan menjadi penjaga bagi seorang muslim untuk selalu terikat pada syariat Allah.
Setiap muslim wajib memiliki kepribadian Islam termasuk saat menjadi anggota majelis umat. Dengan dorongan keimanan dan semangat fastabiqul khairat, mereka pun akan sungguh-sungguh dalam menjalankan amanah.
Mereka bertugas dalam memberikan pendapat atau masukan kepada Khalifah dan melakukan muhasabah atau koreksi dalam setiap kebijakan yang diambil penguasa. Bukan memuluskan kebijakan penguasa yang merugikan rakyat dan melanggar syariat. Wallahu a’lam bishawab. [LM/ry].