Tunjangan DPR Fantastis, Nasib Rakyat Makin Tragis

Oleh : Eni Imami, S.Si, S.Pd
Pendidik dan Pegiat Literasi
LenSaMediaNews.Com–Sungguh ironis, di tengah kehidupan rakyat yang semakin tragis, dimana lapangan pekerjaan susah dan sejumlah pajak dinaikan, DPR justru mendapat tunjangan fantastis. Dilansir dari bbc.com, 19 Agustus 2025, tunjangan per bulan anggota DPR diatur dalam Surat Edaran Setjen DPR RI No.KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 dan Surat Menteri Keuangan nomor S-520/MK.02/2015.
Seorang anggota DPR dapat membawa pulang uang setidaknya sebesar Rp54.051.903 per bulan di luar tunjangan rumah, uang perjalanan dinas, dan dana aspirasi.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Promayogha menilai hal ini tidak layak, di tengah sulitnya ekonomi masyarakat dan tidak sepadan dengan kinerja DPR yang tak memuaskan. ICW menilai itu merupakan pemborosan anggaran. Tunjangan rumah anggota DPR bisa mencapai Rp1,74 triliun dengan asumsi Rp50 juta dikalikan 60 bulan dan 580 anggota DPR.
Wakil Rakyat Tak Merakyat
Dari waktu ke waktu semakin tampak perilaku anggota DPR yang katanya wakil rakyat tetapi tidak merakyat. Alih-alih memperjuangkan nasib rakyat, mereka justru kerap menyakiti hati rakyat. Tidak hanya lewat kebijakan yang menyengsarakan, tetapi juga lewat ucapan yang tak enak didengar.
Kondisi saat ini sejatinya merupakan konsekuensi dari penerapan Sistem sekuler Demokrasi. Sistem yang mengagungkan kebebasan dan keuntungan material. Sistem yang tak mengenal halal dan haram, berbagai cara dilakukan demi kepentingan dan keuntungan.
Untuk duduk di kursi DPR, mereka harus mengeluarkan modal besar. Mengumbar janji saat kampanye demi mendapatkan banyak suara rakyat. Tidak mengherankan jika sudah menjabat, mereka memanfaatkan untuk balik modal dengan berbagai cara, seperti menaikkan gaji dan tunjangan, atau korupsi dengan menjual sumber daya alam.
Dalam Sistem sekuler Demokrasi, jabatan dijadikan ajang bagi-bagi kekuasaan dan bancaan uang negara. Pejabat hidup mewah, digaji dari uang rakyat lewat pajak, sedangkan rakyat hidup tertindas.
Wakil Rakyat dalam Sistem Islam
Wakil rakyat dalam Daulah Khilafah disebut majelis umat. Anggota majelis umat adalah orang-orang yang dipilih rakyat dari berbagai wilayah. Orang-orang yang menjadi representatif untuk mewakili rakyat menyampaikan aspirasi kepada Khalifah dalam berbagai urusan.
Bagi non-muslim dibolehkan menjadi anggota majelis umat sebagai wakil mereka. Perannya sebatas menyampaikan pengaduan jika ada kezaliman para penguasa atau penyimpangan pelaksanaan hukum-hukum Islam terhadap mereka.
Adanya majelis umat ini diambil dari aktivitas Rasulullah saw. yang sering bermusyawarah dengan kalangan Muhajirin dan Anshar. Diantaranya yang sering diminta pendapat yakni Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Hamzah bin Abdul Muthalib, Ali bin Abi Thalib, Salman al-Farisi, dan Hudzaifah.
Majelis umat berperan mewakili umat atas dasar keimanan dan kesadaran sebagai penyambung lidah rakyat. Peran itu merupakan amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Taala. Mereka tidak memiliki motivasi aji mumpung untuk menikmati fasilitas negara, apalagi menuntut hak istimewa untuk hidup semakin kaya.
Posisi majelis umat berbeda secara diametral dengan wakil rakyat dalam Sistem Demokrasi. Dalam Sistem Demokrasi, wakil rakyat memiliki peran untuk melegislasi hukum perundang-undangan dan menetapkan anggaran. Sedangkan majelis umat dalam Sistem Khilafah memiliki peran sebagai berikut;
Pertama, melakukan musyawarah (hak syura). Majelis umat dapat memberikan pendapat kepada Khalifah terkait perkara praktis yang tidak memerlukan pengkajian dan analisis mendalam. Seperti, kebutuhan akan falisitas pendidikan, kesehatan, perbaikan jalan, dan sebagainya.
Kedua, melakukan koreksi (muhasabah) kepada Khalifah dan para penguasa atas sebuah kekeliruan. Jika terjadi perbedaan pendapat diantara mereka, maka diserahkan kepada Mahkamah Madzalim.
Ketiga, memiliki hak menampakkan ketidaksukaan terhadap para pejabat negara (mu’awin, wali, dan amil) atas perilaku atau kebijakan mereka. Dalam kondisi demikian, Khalifah harus mengganti pejabat tersebut yang telah diadukan oleh majelis umat.
Keempat, Majeli umat memiliki peran dalam proses pemilihan Khalifah. Hak Majelis umat melakukan pembatasan jumlah calon Khalifah. Calon boleh dibatasi menjadi enam atau dua sesuai pendapat majelis umat.
Majelis umat bukanlah pegawai negara yang mendapatkan gaji, ada tunjangan kinerja dengan jumlah yang secukupnya. Ini sangat berbeda dengan anggota DPR saat ini, mereka mendapat gaji dan tunjangan yang jumlahnya luar biasa. Wallahu a’lam bi ash-shawab. [LM/ry].