Wakil Rakyat Seharusnya Merakyat

DPR1-LenSaMedia

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih

Institut Literasi dan Peradaban

 

LenSaMediaNews.Com–Judul di atas adalah penggalan syair lagu berjudul “Surat Buat Wakil Rakyat” dari Iwan Fals yang diciptakan dan dirilis pada tahun 1987, ternyata masih relevan hingga tahun ini.

 

Lagu ini merupakan salah satu kritik sosial Iwan Fals terhadap kinerja wakil rakyat yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik, seperti tidak fokus saat sidang atau lebih banyak “kunker” (kunjungan kerja) yang tidak jelas.

 

Di Padangsidimpuan, Sumatera Utara menjadi bukti arogannya wakil rakyat itu, dimana anggota DPRD Padangsidimpuan meninggalkan panggung kehormatan karnaval HUT ke-80 RI karena merasa diremehkan.

 

Penyebabnya adalah penempatan tempat duduk mereka di barisan paling belakang dengan kursi plastik, sementara ibu-ibu PKK dan Dharma Wanita Persatuan duduk di kursi sofa di depan mereka.

 

Para anggota DPRD itu menyesalkan sikap panitia yang menganggap remeh lembaga legislatif, padahal DPRD adalah bagian dari Pemerintah Kota Padangsidimpuan. Menurut anggota DPRD, seharusnya lembaga Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif ditempatkan di deretan kursi yang layak (tabagseltimes, 17-8-2025).

 

Wakil Rakyat Mewakili Siapa?

 

Sungguh, para anggota dewan itu semestinya merakyat, sebagai wakil tentulah tidak berbeda dengan yang diwakili, sama-sama manusia, sama-sama hamba Allah. Sama-sama makan nasi. Bukan malah merasa diremehkan.

 

Publik masih dihebohkan dengan demonstrasi yang berakhir anarkis dan penjarahan rumah sejumlah anggota dewan seperti Uya Kuya, Nafa Urbach dan Eko Patrio, tak luput rumah Menteri Keuangan Sri Mulyani juga ikut dijarah. Kemarahan rakyat tak dapat lagi dibendung disebabkan tingkah pola para wakil rakyat tersebut.

 

Penyebabnya, wakil rakyat itu memamerkan kekayaan tanpa empati, bahkan ketika ada kenaikan tunjangan DPR di tengah lesunya ekonomi masyarakat anggota parlemen itu masih bisa berjoged sembari mengatakan kenaikan Rp 3 juta untuk tunjangan kontrak rumah bukan apa-apa dibandingkan saat mereka bekerja sebagai artis yang bisa mendapatkan nominal lebih besar berkali-kali-kali lipat hanya dalam waktu sehari.

 

Seolah mereka lupa, menjadi anggota parlemen, mereka dibayar pajak rakyat. Seenaknya mereka flexing kekayaan, dan melupakan suara rakyat yang saat pemilihan begitu mereka muliakan. Mereka mewakili siapa? Jangan-jangan hanya mewakili kepentingan pribadi dan partai. Dan inilah konsekwensi ketika Sistem Kapitalisme yang diterapkan. Mereka yang mewakili rakyat tak serta merta menyayangi rakyat.

 

Sidang MK pun sepakat untuk menghapus berbagai tunjangan yang diterima anggota DPR, apakah ini menyelesaikan? Jelas tidak! Atau wacana non aktifkan anggota DPR, sesuai undang-undang? Faktanya, meski non aktif mereka masih mendapatkan gaji dan pensiun seumur hidup.  Apakah berbagai preville ini yang membuat mereka merasa diremehkan?  Semua sanksi itu tak menyentuh akar permasalahannya. Yaitu Sistem Kapitalisme.

 

Islam Solusi Sejahtera Tanpa Anarkis

 

Sungguh, semua ini terjadi , terutama bagi muslim , akibat mereka tak takut lagi dengan larangan Allah swt. Bahkan tak segan mengabaikan perintahNya. Anggota parlemen itulah si pembuat hukum, jelas menantang Allah pemilik hukum sejati. Mereka memang tidak disembah, tapi mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah, begitu sebaliknya, mengharamkan apa yang dihalalkan Allah.

 

Padahal Allah SWT.berfirman yang artinya, “Menetapkan hukum hanyalah hak Allah; Dia memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.(TQS Yusuf:40).

 

Fungsi MPR dan DPR hari ini, dalam pandangan Islam sebenarnya sangat menyimpang. Ketika negara dalam Islam wajib menerapkan syariat bagi seluruh aspek kehidupan, maka rakyat sebagai pemilik kekuasaan wajib mengoreksi, evaluasi dan muhasabah kepada para penguasanya. Agar tetap berada pada koridor yang seharusnya.

 

Inilah yang disebut majelis umat yang keberadaanya merupakan manifestasi rakyat secara keseluruhan. Rakyat yang beragama non Islam juga memiliki hak untuk mengadukan atas pelayanan penguasa yang mereka terima, sudah baik atau belum. Dan majelis umat tidak mendapatkan gaji dari negara sebagaimana Kapitalisme, namun jika dibutuhkan biaya untuk satu kepentingan, maka ada santunan secukupnya.

 

Kemarahan rakyat dan arogansi penguasa ataupun wakil rakyat tak cukup diselesaikan dengan mencabut hak-hak mereka sesuai konstitusi, karena hal demikian hanya berlangsung sementara.

 

Rakyat harus bergerak bersama jamaah dakwah idiologis untuk menempa diri melalui pembinaan agar memiliki kesadaran politik yang sahih yang berasal dari akidah Islam. Dan bersama-sama berjuang menerapkan Sistem Islam, warisan Rasûlullâh Saw. Wallahualam bissawab. [LM/ry].