Wakil Rakyat yang Tidak Merakyat

Wakil rakyat

 

Oleh Siska Juliana

 

 

LensaMediaNews.com, Opini_ Angin segar menyapa wakil rakyat. Mereka mampu meraup pendapatan hingga lebih dari Rp100 juta per bulan. Hal tersebut tentunya melukai hati rakyat sebab kenaikan tunjangan wakil rakyat dibarengi dengan pungutan pajak yang mencekik bagi rakyat. Lantas, bagaimanakah seharusnya sikap pemimpin rakyat? Layakkah mereka mendapat berbagai fasilitas tersebut?

 

Kenaikan Tunjangan

Anggota DPR mendapat berbagai tunjangan, mulai dari tunjangan jabatan, kebutuhan pokok, hingga tunjangan rumah. Kebijakan tunjangan rumah mencapai Rp50 juta per bulan. Hal itu sebagai pengganti fasilitas rumah dinas. Mereka berdalih agar mendapat tempat tinggal yang dekat dengan gedung DPR. Namun faktanya, kehadiran anggota parlemen sering tidak maksimal sehingga pembahasan legislasi kerap mandek.

 

Total gaji yang diterima lebih dari Rp100 juta per bulan, bahkan ada yang menyebutkan mencapai Rp230 juta per bulan. Sungguh jumlah yang fantastis di tengah kesulitan hidup yang dialami masyarakat.

 

ICW menyebutkan dana tunjangan rumah mencapai Rp1,74 triliun. Hasil ini didapat dengan asumsi Rp50 juta dikali 60 bulan dengan total anggota DPR sebanyak 580 orang. Hal ini tentu menyebabkan pemborosan anggaran. Di sisi lain, pemerintah sedang melakukan efisiensi anggaran.

 

Dengan gaji yang fantastis patut diketahui kinerjanya. Menurut survei indikator politik Indonesia yang dirilis pada 27 Januari 2025 menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap DPR hanya 69%. DPR menempati urutan 10 dari 11 lembaga. (bbcindonesia.com, 19-08-2025)

 

Beberapa waktu lalu, masyarakat mendapati para anggota DPR membahas undang-undang secara tertutup di hotel berbintang di akhir pekan yang diduga menggunakan uang negara. Alhasil, masyarakat makin terluka dengan fakta tersebut.

 

Kondisi Masyarakat

Saat ini, masyarakat mengalami banyak persoalan ekonomi. Kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% membuat harga-harga makin naik. Pajak bumi dan bangunan juga mengalami kenaikan drastis diduga karena dampak efisiensi ke daerah.

 

Belum lagi angka pemutusan hubungan kerja yang meningkat. Satudata Kementerian Ketenagakerjaan mencatat bahwa terdapat 42.385 pekerja yang di PHK sepanjang Januari sampai Juni 2025. Angka ini meningkat sebesar 32,19% atau 32.064 orang dibanding tahun lalu. Fakta ini menunjukkan makin terpuruknya kondisi masyarakat.

 

Demokrasi Lahirkan Pemimpin Nirempati

Kenaikan tunjangan anggota DPR sontak saja menyulut amarah publik. Apalagi respons mereka justru nirempati dan terkesan menantang masyarakat. Demo terjadi di berbagai daerah menuntut pembubaran DPR. Selama ini, publik mempertanyakan kinerja DPR. Mereka menilai gaji yang fantastis tidak sejalan dengan kinerjanya. Buktinya, kehidupan masyarakat yang tidak kunjung membaik. Ironisnya, banyak pejabat yang terlibat korupsi.

 

Untuk berebut kursi DPR, mereka harus mengeluarkan modal yang tidak sedikit. Mereka dibantu oleh para pemilik modal. Alhasil, saat terpilih para pejabat harus mengembalikan ongkos politiknya dengan cepat. Dengan begitu, berbagai kebijakan dikeluarkan untuk menaikkan gaji dan tunjangan, sedangkan secara ilegal dengan suap dan korupsi.

 

Inillah dampak diterapkannya sistem demokrasi. Politik demokrasi tidak mengenal halal dan haram sehingga tidak akan menciptakan kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat. Sistem ini meniscayakan kekuasaan hanya milik segelintir orang (oligarki).

 

Rakyat hanya dibutuhkan saat pemilu saja, selebihnya dibiarkan mengadu nasibnya sendiri. Setelah mereka berhasil menjabat, yang diurusi hanyalah proyek-proyek untuk menambah kekayaannya. Mereka dengan bangga memamerkan kekayaannya dan hidup mewah di tengah penderitaan rakyat.

 

Kekuasaan adalah Amanah

Allah Swt. telah memberi peringatan bagi orang yang hidup bermegah-megahan (lihat: QS. At-Takatsur ayat 1-8). Allah juga menegaskan bahwa salah satu sebab kehancuran suatu negeri adalah saat pemimpinnya hidup mewah dan menolak syariat (lihat QS. Al-Isra: 16).

 

Penerapan kapitalisme sekuler telah jelas memisahkan pemerintahan dari hukum Allah. Penyimpangan-penyimpangan tersebut telah menjauhkan berkah dan rida-Nya. Allah berfirman,

Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (Al-Qur’an), sesungguhnya bagi dia kehidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkan dirinya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha: 124)

 

Islam memandang bahwa kekuasaan merupakan amanah berat yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Oleh karena itu, tak layak jika jabatan diperebutkan seperti dalam sistem demokrasi saat ini. Jabatan dan kekuasaan justru ditolak oleh para ulama terdahulu. Mereka memahami beratnya pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt.

 

Dengan demikian, hanya penguasa dalam sistem Islam yang benar-benar peduli dan mengurusi rakyatnya. Mereka memahami bahwa kekuasaan merupakan amanah dan wasilah untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, bukan untuk mewujudkan ambisi duniawi.

 

Kisah Umar bin Abdul Aziz telah memberikan teladan sebagai penguasa yang bijaksana. Ia mengingatkan bahwa kekuasaan bukanlah santapan untuk dinikmati, melainkan menjadi kehinaan dan penyesalan di hari kiamat, kecuali bagi orang yang menunaikan kekuasaan itu dengan haq.

Khatimah

Dengan demikian, kita sudah memahami bahwa seluruh permasalahan hidup yang terjadi akibat penerapan kapitalisme sekuler. Sudah saatnya kita keluar dari sistem buatan manusia menuju aturan Allah. Caranya dengan menerapkan syariat Islam secara kafah dalam seluruh aspek kehidupan di bawah naungan Khilafah. Wallahu’alam bishshawab.