Krisis Kesehatan Mental Melonjak

png_20230707_093052_0000

Oleh : Warjianah

 

Lensa Media News – Perkembangan teknologi digital serta berbagai masalah sosial dan ekonomi yang saat ini, membuat banyak masyarakat khususnya di Kabupaten Pemalang, alami gangguan kejiwaan. Data yang tercatat oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Pemalang angka gangguan jiwa di Kabupaten Pemalang setiap tahunnya mengalami kenaikan, jika dihitung selama lima tahun terakhir dari 2019-2023 ini tercatat ada 6230 orang alami gangguan jiwa. Dijelaskan Kepala Dinkes Kabupaten Pemalang Yulies Nuraya, Mayoritas penderita  kejiwaan ini merupakan usia produktif antara 15 sampai dengan 59 tahun. Tingginya masalah kesehatan mental di kalangan remaja juga terjadi di Indonesia. Menurut Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey 2022, 15,5 juta (34,9 persen) remaja mengalami masalah mental dan 2,45 juta (5,5 persen) remaja mengalami gangguan mental. Dari jumlah itu, baru 2,6 persen yang mengakses layanan konseling, baik emosi maupun perilaku.

Menurut, Kepala Dinkes Kabupaten Pemalang Yulies Nuraya, penyebab gangguan kejiwaan tersebut diantaranya masalah keluarga, ekonomi, keturunan, budaya, hingga paparan teknologi. Bahkan, media sosial (medsos) pun bisa menjadi pemicu gangguan kejiwaan.(PUSKAPIK.COM)

Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), dr Eka Viora, SpKJ, mengatakan untuk di Indonesia di tahun 2019 terdapat sekitar 15,6 juta penduduk yang mengalami depresi.

Menurut pengamat psikologi sosial dan budaya dari Universitas Indonesia Endang Mariani Rahayu, tingkat stres warga di kota-kota besar terutama kaum ibu terus meningkat setiap tahunnya.

Dari hasil survei, 49 persen dari seluruh wanita yang disurvei mengatakan stres mereka telah meningkat selama lima tahun terakhir dibandingkan dengan empat dari 10 pria atau hanya 39 persen. Begitu halnya dengan ibu ibu di daerah, mereka menderita stres tetapi dengan bentuk lain terutama dipicu masalah ekonomi dan sifat konsumtif.

Ini adalah gambaran yang menunjukkan keluarga Indonesia rawan alami gangguan kejiwaan. Gangguan jiwa yaitu sindrom atau pola perilaku yang secara klinis berhubungan dengan distres atau penderitaan dan menimbulkan gangguan pada satu atau lebih fungsi kehidupan manusia seperti perasaan tidak nyaman, kurang percaya diri, tidak aman, emosi labil, dsb. (https://www.halodoc.com/kesehatan/gangguan-jiwa).

Namun, bila ditelusuri semuanya  akar masalahnya adalah sistem kehidupan kapitalisme telah merusak kesehatan mental keluarga.

Pertama, kapitalisme memisahkan agama kehidupan. Faktanya, banyak keluarga yang menjalani kehidupan rumah tangganya tidak berlandasan agama. Banyak muslim yang frustasi, stress karena tidak paham makna  sabar, ikhtiar, dan tawakal. Akibatnya gangguan jiwa meningkat lalu memicu konflik serta kekerasan dalam kehidupan keluarga. Seorang muslim yang kuat akidahnya, maka selain berikhtiar ia akan bersabar dan menyerahkan segala urusan pada Allah. Keyakinannya pada prinsip qadarullah, ketetapan Allah, membuatnya bisa bertahan menghadapi berbagai problematika kehidupan. Ini yang dipuji oleh Nabi SAW, dalam sabdanya:

عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.” (HR. Muslim, no. 2999)

Kedua, kapitalisme menanamkan nilai hedonisme ketimbang moral, kasih sayang dan agama dalam kehidupan sosial dan keluarga. Nilai materi dan prestise lebih mendominasi, ini tercermin di media sosial dimana orang sering mengupload gaya hidupnya semisal makan-makan, pakaian, traveling, dsb. Keadaan ini akhirnya menimbulkan gangguan kejiwaan pada masyarakat.

Selain itu, kapitalisme juga menumbuhkan karakter individualisme yang menggerus kasih sayang dan kebersamaan. Hubungan antar pasangan sering didominasi saling ego, istri tak paham ketaatan pada suami, dan suami tak paham mengayomi dan melindungi istri dan anak-anak. Karenanya perceraian terus meningkat, dan tentu saja perempuan dan anak-anak sering menjadi korban.

Ketiga, dalam kapitalisme negara tidak menjamin kebutuhan pokok warganya. Masyarakat dibiarkan memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri. Di Indonesia berbagai subsidi pada rakyat mulai dikurangi, bahkan jaminan kesehatan harus warga sendiri yang membayar dan saling menanggung meski tidak semua warga sanggup membayar iuran bulanannya. Penghasilan suami pas-pasan membuat banyak istri terpaksa bekerja membantu nafkah keluarga. Akibatnya anak-anak minim mendapatkan perhatian dan perlindungan, sementara hubungan antara kedua orangtua juga rawan konflik.

Sudah seharusnya kaum Muslim kembali menjalani kehidupan berstandar pada al quran dan as sunah yang telah di bawa oleh Nabi Muhammad SAW (Suri tauladan ).

 

[LM/nr]