Saatnya Pendidikan Berlandaskan Wahyu, Bukan Nafsu

Oleh: Nettyhera
Lensa Media News – Tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Setiap tahun, kita mendengar pidato-pidato tentang pentingnya pendidikan sebagai kunci masa depan bangsa. Namun, di balik peringatan ini, ada satu pertanyaan penting yang jarang diajukan: pendidikan seperti apa yang sedang kita banggakan hari ini?
Kita hidup di zaman yang disebut modern, tapi krisis moral justru semakin merajalela. Anak-anak dididik untuk cerdas secara akademik, tapi tak sedikit dari mereka yang tumbuh tanpa arah. Prestasi tinggi tidak menjamin lahirnya pribadi yang jujur, bertanggung jawab, atau peduli pada sesama. Korupsi merajalela, kekerasan di sekolah makin sering, bahkan perundungan menjadi budaya yang dianggap biasa. Data KPAI tahun 2023 mencatat ada lebih dari 2.300 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan. Mengapa semua ini terjadi, padahal pendidikan kita terus “direformasi”?
Satu akar masalahnya adalah paradigma pendidikan yang digunakan. Pendidikan kita hari ini dibangun di atas pondasi sekularisme, sebuah paham yang memisahkan agama dari kehidupan, termasuk dari pendidikan. Akibatnya, ilmu yang diajarkan di sekolah hanya berfokus pada dunia. Agama hanya hadir di jam pelajaran tertentu, bukan sebagai pondasi berpikir dan bertindak. Inilah mengapa kita sering gagal mencetak manusia yang utuh: berilmu dan berakhlak.
Pendidikan hari ini lebih banyak diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pasar. Anak-anak dididik agar menjadi “sumber daya manusia” yang siap kerja, bukan sebagai insan yang siap memimpin peradaban. Nilai keberhasilan ditakar dari seberapa tinggi gaji atau seberapa prestisius posisi dalam perusahaan. Padahal, tujuan sejati pendidikan adalah membentuk manusia yang sadar akan tanggung jawabnya kepada Allah, diri, dan masyarakat. Mirisnya, hasil PISA 2022 menunjukkan skor literasi, numerasi, dan sains pelajar Indonesia menurun signifikan, menandakan bahwa pendidikan kita juga belum efektif secara kognitif, apalagi spiritual.
Islam memiliki sistem pendidikan yang menyeluruh. Dalam Islam, ilmu bukan sekadar alat untuk mencari nafkah, tapi jalan menuju ketakwaan. Wahyu, yakni Al-Qur’an dan Sunnah, menjadi dasar berpikir, bukan hanya tambahan pelajaran. Anak-anak sejak dini diajarkan untuk mengenal Tuhannya, mencintai ilmu, dan menjadikan hidupnya bermakna untuk umat. Para ulama besar seperti Imam Syafi’i, Ibnu Sina, dan Al-Khawarizmi lahir dari sistem pendidikan yang berbasis wahyu ini. Mereka tidak hanya ahli dalam agama, tapi juga menguasai sains, matematika, dan kedokteran. Inilah bukti bahwa ketika pendidikan dibangun di atas wahyu, maka lahirlah generasi cemerlang dunia-akhirat.
Sudah saatnya kita jujur mengakui bahwa sistem pendidikan kita hari ini tidak sedang baik-baik saja. Perubahan kurikulum berkali-kali tidak menyentuh akar persoalan. Karena itu, di momen Hardiknas ini, mari kita melakukan refleksi besar: pendidikan harus kembali berlandaskan wahyu, bukan sekadar nafsu untuk mengejar materi atau gengsi duniawi. Kita butuh sistem pendidikan yang menjadikan takwa sebagai tujuan, bukan hanya angka dalam rapor. Dengan wahyu sebagai landasan, pendidikan tidak hanya mencerdaskan otak, tetapi juga menumbuhkan jiwa yang lurus, hati yang bersih, dan peradaban yang mulia.
[LM/nr]