Ketika Keluarga Retak, Dunia pun Ambruk

20250523_103114

Oleh Nadisah Khairiyah

 

Lensamedianews.com_ Sungguh dunia saat ini sedang sakit. Di berbagai penjuru dunia, kita menyaksikan berita-berita yang membuat dada sesak: hubungan sedarah yang dulu dianggap aib besar, kini perlahan dimunculkan ke ruang publik sebagai pilihan pribadi. Ada yang melakukannya diam-diam, ada pula yang terang-terangan menuntut legalitasnya.

 

Ini bukan sekadar penyimpangan moral. Ini adalah gejala penyakit mental. Maka wajar jika saat ini kesehatan mental dunia sedang terganggu. Dan penyakit mental itu diawali dari retaknya fondasi peradaban: keluarga. Dan di balik keretakan itu, berdiri sistem kehidupan yang telah lama memisahkan manusia dari nilai-nilai ilahiah yakni sistem sekuler kapitalistik. Maraknya hubungan sedarah dan runtuhnya bangunan keluarga dalam pelukan sekularisme kapitalistik.

 

Realitas Sistem Kapitalisme: Tanpa Kompas Moral

Sistem kapitalisme lahir dari pemisahan agama dari kehidupan. Ia menjadikan manusia sebagai pusat penentu baik dan buruk, tanpa merujuk pada wahyu. Manusia sebagai makhluk, dengan segala keterbatasannya, dijadikan rujukan untuk menilai baik atau buruknya sesuatu. Dalam pandangan ini, selama tidak merugikan secara materi atau melanggar hukum buatan manusia, maka segala bentuk perilaku bisa dianggap sah-sah saja.

 

Kapitalisme tidak serta-merta mengajak pada kerusakan. Sistem ini menciptakan lingkungan yang subur bagi tumbuhnya gaya hidup individualistik dan bebas nilai, di mana kebebasan pribadi menjadi nilai tertinggi, dan batas antara hak dan keliru menjadi semakin kabur.

 

Ketika keluarga dipandang sekadar urusan privat dan bukan institusi moral. Tak ada wahyu yang mengatur urusan keluarga, maka tak ada lagi rambu yang mengikat kecuali rasa nyaman dan kehendak pribadi. Inilah yang pada akhirnya membuka ruang bagi penyimpangan termasuk yang paling ekstrem: hubungan sedarah.

 

Sistem ini juga melahirkan industri yang mendewakan keuntungan. Konten-konten hiburan yang mengumbar aurat, membangkitkan syahwat, dan menormalisasi penyimpangan diproduksi masif demi cuan. Tak peduli dampak jangka panjangnya pada tatanan sosial, khususnya pada generasi muda.

 

“Jangan Dekati Zina”, Ayat yang Terlupakan

Allah ﷻ telah memberi aturan dalam masalah pergaulan laki-laki dan perempuan. Dalam rumah pun sudah dibuat aturan terkait batasan aurat kepada mahram (QS An-Nuur(24):31). Sehingga seorang ayah atau ibu tidak boleh seenaknya berpakaian, namun harus terikat dengan pakaian yang menutupi aurat. Juga dalam memandang kepada lawan jenis harus menundukkan pandangan (gadlul bashar). Aturan yang memerintahkan untuk tidak melihat aurat dan melihat dengan syahwat (QS 24: 30-31).

 

Selanjutnya ada peringatan keras dari Allah

*وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَىٰ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَة ۛ وَسَآءَ سَبِيلًۭا
Dan janganlah kalian mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32)

 

Larangan ini bukan hanya pada perzinaan itu sendiri, melainkan juga segala jalan menuju ke sana: ikhtilat (campur baur bebas), tontonan yang menggoda, candaan yang melecehkan batas, dan gaya hidup permisif. Termasuk larangan ciuman karena perbuatan ini adalah pintu zina.

 

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, dalam kitab Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam, menjelaskan bahwa sistem Islam tidak cukup dengan menghukum pelaku zina. Ia membentengi masyarakat sejak awal dengan sistem nilai, aturan pergaulan, serta pendidikan berbasis takwa.

 

Beliau menekankan bahwa perzinaan, apalagi hubungan sedarah, adalah buah dari lingkungan yang tidak dijaga dengan hukum syariat. Ketika masyarakat dibentuk di atas asas sekularisme, rumah sebagai tempat melahirkan manusia bertakwa, telah hilang perannya. Batas-batas syar’i akan terus didorong ke pinggiran, hingga akhirnya dilanggar secara terang-terangan.

 

Islam: Sistem Penjaga Keluarga dan Martabat Manusia

Islam hadir bukan untuk mengekang, tetapi untuk menjaga: menjaga kemuliaan diri, kehormatan keluarga, dan kebersihan masyarakat serta kesehatan mental manusia. Dalam Islam, keluarga bukan sekadar institusi biologis, tapi adalah amanah ilahi yang dijaga dengan cinta, tanggung jawab, dan aturan yang tegas namun penuh rahmat. Sebagaimana kita lihat pada musik, aturan menimbulkan harmonisasi. Demikian juga yang kita lihat di alam, bahkan pada diri manusia, aturan menimbulkan harmonisasi.

 

Ayah adalah qawwam, pemimpin dalam rumah tangga. Ibu adalah madrasah pertama. Anak adalah ladang pahala, bukan beban dunia. Setiap peran dilandasi oleh iman, bukan oleh selera atau selera pasar. Saat semua menjalankan peran sesuai aturan, maka lahirlah harmonisasi dalam keluarga.

 

Saatnya Kita Menentukan Arah

Hari ini mungkin kita hanya membaca berita tentang penyimpangan. Tapi jika kita tak bersikap, esok mungkin kita menyaksikannya terjadi di dekat kita di sekolah anak kita, di lingkungan kita, bahkan mungkin di rumah kita sendiri. Na’udzubillah min dzaalik

 

Solusinya bukan sekadar memperkuat moral individu, tetapi mengembalikan nilai-nilai Ilahi ke pusat kehidupan. Bukan dengan menambal sistem yang rusak, tapi dengan membangun sistem hidup baru yang bersumber dari wahyu dan memuliakan manusia dalam batas-batas yang telah Allah tetapkan.

 

Karena menyelamatkan keluarga, bukan sekadar urusan domestik. Ia adalah langkah awal menyelamatkan peradaban. Menyelamatkan peradaban dari kerusakan kesehatan mental manusia, dari kerusakan yang semakin parah.