Ilusi Data Ciptakan Ketimpangan Solusi Kemiskinan

Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor
LenSaMediaNews.Com–Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data kemiskinan terbaru pada 25 Maret 2025 lalu. BPS mengelompokkan seseorang terkategori miskin jika pengeluarannya berada di bawah Rp 609.160 per kapita per bulan atau setara Rp 20.305 per hari. Dengan standar tersebut, jumlah penduduk miskin di Indonesia tercatat mencapai 23,87 juta jiwa, atau sekitar 8,47 persen dari total populasi (Kompas.com, 28-7-2025).
Beda Standar
Berbeda dengan BPS, Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan di Indonesia pada angka Rp 1,23 juta per kapita per bulan, atau setara Rp 41.000 per hari. Dengan standar ini, jumlah penduduk miskin Indonesia melonjak drastis menjadi 171 juta jiwa atau 60 persen dari total populasi.
Perbedaan ini terjadi karena BPS menggunakan standar kebutuhan dasar nasional, sedangkan Bank Dunia mengacu pada standar global yang menilik kebutuhan hidup layak secara umum. Perbedaan definisi inilah yang membuat data kemiskinan di Indonesia seolah “baik-baik saja” ketika ditilik dengan kacamata pemerintah, tetapi tampak memprihatinkan jika dibandingkan dengan tolok ukur internasional.
Menyoal hal tersebut, para pakar ekonomi CELIOS (Center of Economic and Law Studies) melayangkan kritik tajam terhadap metode penghitungan BPS. Para ekonom menilai, parameter yang digunakan tidak lagi cocok dengan kondisi nyata di lapangan (celios.co.id, 25-7-2025).
Perubahan sosial ekonomi yang sangat dinamis, lonjakan harga kebutuhan pokok, dan ketimpangan pendapatan membuat standar lama tak lagi mencerminkan fakta sebenarnya. Bahkan, CELIOS menduga jumlah orang miskin jauh lebih besar dibanding data resmi yang dirilis BPS.
Perbedaan-perbedaan ini jelas berimplikasi pada kebijakan negara, khususnya terkait skema bantuan sosial, penanggulangan pengangguran, dan pembukaan lapangan kerja. Data yang simpang siur akan dipastikan melahirkan solusi yang tidak sesuai dengan akar masalah kemiskinan yang dialami sebagian besar rakyat Indonesia.
Konsep yang Batil
Ironis, garis kemiskinan versi BPS yang hanya Rp 20.305 per hari tidak sebanding dengan kebutuhan primer yang terus meroket. Keadaan ini pun diperparah dengan biaya transportasi yang tidak terkendali, tarif listrik naik, dan kebutuhan dasar lainnya yang sulit dipenuhi dalam standar layak.
Dengan standar Rp 20 ribu per hari, jangankan membeli lauk bergizi, untuk sekadar ongkos transportasi ke tempat kerja pun tidak cukup. Keadaan ini tidak jauh berbeda jika memakai standar Bank Dunia yang mematok standar harian Rp 41 ribu, masyarakat tetap sulit memenuhi kebutuhan hidup layak.
Fakta ini membuktikan, angka BPS tidak bisa dijadikan standar kesejahteraan. Fenomena PHK massal, inflasi tinggi, dan anjloknya daya beli menandakan perekonomian sedang tidak baik-baik saja. Ironisnya, di tengah kondisi ini, pemerintah kerap mengklaim keberhasilan menurunkan angka kemiskinan. Padahal fakta di lapangan menunjukkan kebalikannya. Data yang disajikan hanya sekedar ilusi untuk pencitraan, bukan cerminan keberhasilan layanan.
Sistem Rusak
Masalah ini bukan sekadar hitungan angka. Akar persoalannya ada pada Sistem Ekonomi Kapitalistik yang dianut negeri ini. Sistem ini menempatkan kepentingan korporasi di atas kepentingan rakyat. Privatisasi sumber daya alam dilegalkan. Swastanisasi dibebaskan. Akibatnya, rakyat harus membeli kebutuhan pokok dengan harga tinggi.
Inilah wajah asli Sistem Kapitalisme yang terlahir dari rahim sekulerisme liberalistik. Sistem rusak ini pun melahirkan kebijakan sesuai kehendak penguasa oligarki Kapitalis. Lagi-lagi, kepentingan rakyat dilalaikan. Pemimpin terus disibukkan dengan pencitraan daripada optimasi layanan. Kemiskinan tidak akan pernah berhenti, saat sistem rusak ini terus diadopsi.
Penataan ala Islam
Islam menjadi satu-satunya sistem solutif. Dalam pandangan Islam, negara bukan sekadar regulator, melainkan pelayan rakyat. Rasulullah SAW bersabda: “Seorang imam (pemimpin) adalah penggembala (penjaga), dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Bukhari Muslim).
Prinsip ini menjadi dasar utama dalam kepemimpinan Islam. Negara wajib menjamin pemenuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan bagi setiap warga. Pengelolaan sumber daya alam wajib dilakukan oleh negara dengan kemandirian dan kedaulatan penuh. Hasil pengelolaan digunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat.
Dalam sistem ini, distribusi kekayaan diatur melalui Baitulmal yang bersumber dari zakat, kharaj, jizyah, hingga pengelolaan SDA. Negara juga memastikan layanan pendidikan dan kesehatan gratis, serta menyediakan lapangan kerja. Semua kebijakan berpijak pada syariat Islam yang menyeluruh, bukan pada kepentingan politik sesaat.
Sistem Islam bukanlah sekedar utopia. Sejarah Islam mencatat, pada masa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, hampir tak ditemukan orang miskin yang layak menerima zakat. Pada saat itu, negara hadir sebagai pengurus sejati, bukan sekadar pencari sensasi. Wallahu a’lam bishowab. [LM/ry].