Pengangguran Anak Muda: Realita Pahit di Tengah Janji Manis Kapitalisme

Oleh: Imtinana Nafilah
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang sudah kasih kita hidup lengkap dengan sistem, yang kalau dijalani benar, bisa jadi solusi atas semua keruwetan dunia, termasuk soal cari kerja.
Hari gini, siapa sih yang gak kenal sama kata pengangguran? Terutama fresh graduate yang baru lulus kuliah atau SMK. Banyak dari kita yang masih sibuk ngejar kerjaan idaman, tapi malah mentok di syarat absurd kayak pengalaman 5 tahun, buat posisi entry level. Lah, kita baru lulus, Bro! Bahkan, keluhan kayak gini udah jadi meme di medsos. Lucu sih, tapi juga nyesek. Di balik gelak tawa, ada kenyataan pahit: dunia kerja makin sempit dan diskriminatif.
Data dari BPS (Agustus 2024) bilang, ada 7,47 juta pengangguran di Indonesia. Yang bikin miris, pengangguran paling tinggi justru ada di usia 15–24 tahun. Padahal ini usia produktif! Parahnya lagi, lulusan SMK, yang katanya siap kerja, malah jadi penyumbang pengangguran tertinggi. Artinya, sistem pendidikannya gak nyambung sama dunia industri.
Oke, pemerintah udah ngeluarin Surat Edaran soal larangan diskriminasi dalam rekrutmen. Tapi, itu baru kulitnya. Masalah utamanya masih utuh: struktural dan sistemik.
Banyak dari kita gak kerja bukan karena males, tapi karena lapangan kerja emang gak cukup. Yang cari kerja bejibun, tapi lowongan minim. Ironisnya, perusahaan juga sering ngeluh gak nemu SDM yang cocok. Jadi, siapa yang error?
Ditambah lagi, banyak pekerja yang digaji di bawah kebutuhan hidup. PHK makin marak, harga kebutuhan pokok naik, sementara kerja makin gak jelas masa depannya. Sistem ekonomi yang kapitalistik kayak sekarang cuma jadikan negara sebagai calo antara investor dan buruh. Negara sibuk narik investor, tapi lupa lindungi rakyatnya sendiri.
UU Cipta Kerja misalnya, malah lebih nguntungin korporasi daripada pekerja. Akibatnya, jurang ekonomi makin lebar. Yang kaya makin kaya, yang bawah makin tercekik.
Islam bukan cuma soal ibadah, tapi juga sistem hidup yang lengkap. Termasuk ngatur soal kerja, ekonomi, dan keadilan sosial. Solusi Islam gak cuma tambal sulam tapi revolusioner.
Dalam sistem Islam, negara wajib menjamin tiap warga bisa cari nafkah. Sistem pendidikan juga disiapin bukan cuma buat nyetak lulusan pinter, tapi harus punya karakter dan misi hidup.
Swasta gak boleh kuasai sumber daya alam milik umum kayak tambang, air, dan energi. Negara yang kelola, dikembalikan buat rakyat. Islam juga punya konsep: Fiqh Ijarah yang ngatur akad kerja dengan adil, milkiyyah yang ngebagi kepemilikan antara individu, publik, dan negara, serta syirkah yang buka peluang kolaborasi ekonomi yang adil.
Semua ini bukan utopia. Ini pernah jalan di masa keemasan peradaban Islam, bukan sekadar teori. Dan semua konsep ini praktis banget, berkesinambungan satu sama lain. Jadi ga parsial, juga ga tumpang tindih.
Allah SWT udah wanti-wanti dalam QS Al-Hasyr ayat 7:
“… supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”
Solusi Islam bukan sekadar wacana. Butuh sistem politik yang bisa ngejalanin semuanya dengan konsisten dan menyeluruh. Di sinilah pentingnya Khilafah, bukan buat nostalgia, tapi buat real change. Di bawah Khilafah, negara dipimpin Khalifah yang ngatur urusan rakyat sesuai syariat. Bukan buat korporat, tapi buat umat.
Selama kapitalisme masih jadi panglima, ya sistem kita bakal kayak gini terus. Tambal sulam, gak nyentuh akar, rakyat terus menderita.
Akhir Kata: Udah Waktunya Bangun dan Bergerak
Pengangguran anak muda itu bukan sekadar masalah pribadi, tapi bukti sistemik kalau kapitalisme gagal total. Kita butuh sistem yang gak cuma janji manis, tapi udah terbukti bisa bawa keadilan, yaitu Islam.
Saatnya buka mata. Bukan buat galau, tapi buat take action. Bergerak dari sistem rusak menuju sistem rahmatan lil ‘alamin. Dari ketimpangan menuju keadilan. Dari kapitalisme menuju Islam. Wallahu a’lam bish-shawab. [LM/AH]