Terlihat Bahagia, Nyatanya Tertindih Ekspektasi Dunia

Oleh : Ummu Alhanira
Pegiat Literasi
LenSaMediaNews.Com–Pernahkah kita menjumpai teman yang tampak aktif, penuh prestasi, dan selalu ceria di hadapan publik, namun menyimpan kesedihan dalam kesendirian? Inilah realita banyak anak muda masa kini, terlihat kuat di luar, tetapi rapuh di dalam. Fenomena ini dikenal sebagai Duck Syndrome, gambaran nyata kehidupan generasi muda Indonesia.
Layaknya bebek yang tenang di permukaan air, padahal mengayuh keras di bawah, begitulah mahasiswa saat ini: tampak baik-baik saja, tetapi sesungguhnya berjuang melawan tekanan sosial dan akademik. Masyarakat menjadikan pencapaian nyata sebagai tolok ukur utama, sementara kelemahan dianggap aib.
Sistem Kapitalisme yang mendominasi kehidupan telah menanamkan paradigma bahwa nilai seseorang diukur dari produktivitas dan kompetisi tanpa henti. Sejak sekolah hingga perguruan tinggi, anak muda didorong untuk berprestasi, mengembangkan keterampilan, menjaga citra, dan tampil sempurna. Akibatnya, kesehatan mental sering terabaikan.
Seorang mahasiswa di Jakarta pernah mengaku kepada konselornya bahwa ia merasa sangat lelah, namun takut berhenti karena khawatir tertinggal. Ungkapan ini mewakili keresahan banyak mahasiswa lain. Data I-NAMHS (2022) menunjukkan 34,9 persen remaja di Indonesia mengalami gangguan kesehatan mental, tetapi hanya 2,6 persen yang mencari bantuan profesional.
Survei Chegg (2025) mencatat 60 persen mahasiswa kekurangan tidur, 56 persen mengalami kelelahan akademik, 35 persen mengaku cemas, dan 11 persen menilai kesehatan mental mereka buruk. Bahkan di kampus besar seperti UNESA dan UGM, data memperlihatkan tingginya angka depresi serta kecenderungan menyakiti diri (ugm.ac.id/24/10/2022). Semua ini menegaskan bahwa di balik senyum mahasiswa, tersimpan tekanan besar yang jarang terlihat.
Pertanyaan pun muncul: apakah kita lebih menghargai pencitraan daripada kejujuran emosional? Mengapa air mata dianggap kelemahan, padahal ia bagian dari kemanusiaan? Kita sibuk mendorong generasi muda untuk unggul akademik dan profesional, tetapi sering lupa membina akhlak, empati, dan keberanian menerima diri sendiri.
Kapitalisme memang mencetak individu yang “serba bisa”, tetapi kerap melupakan kebahagiaan mereka sebagai manusia. Jika pendidikan hanya diarahkan untuk mencetak pekerja efisien, bukan manusia utuh, kita sedang menghadapi krisis generasi.
Dalam pandangan Kapitalisme, sukses berarti mengejar materi meski mengorbankan keseimbangan hidup dan nilai moral. Karena itu, keluarga, kampus, dan masyarakat harus berani mengubah paradigma lama: manusia bukan sekadar mesin produktif. Keberhasilan bukan hanya soal prestasi, tetapi juga kemampuan menjaga keseimbangan batin, mengenali batas diri, dan menebar kasih sayang.
Generasi unggul bukan berarti generasi yang tak pernah menangis. Justru, mereka yang mampu menerima luka, saling menguatkan, dan bangkit bersama adalah cerminan generasi tangguh. Pada akhirnya, manusia bukanlah robot. Kita makhluk yang berhak lelah, rapuh, dan beristirahat.
Lantas, bagaimana Islam menanggapi fenomena ini? Apakah kesuksesan hanya diukur dari indeks prestasi atau capaian materi? Apakah Duck Syndrome juga akan lahir dalam sistem Islam?
Islam menawarkan pendekatan menyeluruh dalam membentuk generasi tangguh, bukan hanya fisik dan intelektual, tetapi juga spiritual, emosional, dan sosial. Tauhid sebagai fondasi utama menanamkan kesadaran bahwa hidup bertujuan untuk beribadah kepada Allah.
Kesadaran ini menghadirkan ketenangan batin, menjauhkan individu dari ekspektasi sosial yang tak realistis. Nilai seseorang tidak diukur dari status sosial atau akademik, melainkan dari ketakwaan dan kontribusi nyata bagi umat.
Islam juga menekankan penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) melalui introspeksi, zikir, salat, dan doa. Sistem Pendidikan Islam tidak hanya mengejar kecerdasan intelektual, tetapi juga menumbuhkan akhlak. Belajar bukan untuk validasi sosial, melainkan agar semakin dekat kepada Allah dan bermanfaat bagi masyarakat.
Selain itu, Islam membangun masyarakat yang saling peduli. Konsep ukhuwah Islamiyah menciptakan ruang aman untuk berbagi beban. Islam menyeimbangkan antara kerja dan istirahat (wasathiyyah), bahkan Rasulullah SAW mengingatkan bahwa tubuh memiliki hak untuk beristirahat.
Dalam sistem Islam, pemimpin berperan sebagai pembina moral, bukan sekadar pengatur administratif. Masyarakat dibangun bukan untuk menjadi mesin produktif, tetapi komunitas yang tumbuh bersama dalam kebenaran dan kasih sayang. Bila sistem Islam diterapkan secara kafah, akan lahir generasi kuat dari dalam, bukan sekadar tampak sukses dari luar sebagaimana fenomena Duck Syndrome. Wallahualam bissawab. [LM/ry].