Agresi Zionis Berlanjut,  Kecaman Hanya Formalitas

AgresiZionis-LenSaMedia

Oleh. Ummu Faiha Hasna

Pena Muslimah Cilacap

 

LenSa MediaNews.Com–Tepat 18 September 2025, Gaza mengalami pemadaman total pada listrik, sinyal internet, dan jaringan telekomunikasi,  telah mengakibatkan sekitar 800 ribu warga Palestina terisolasi dari dunia luar. Infrastruktur komunikasi hancur akibat serangan udara Zionis tanpa henti yang menghantam kota Gaza. Membuat warga sipil semakin terjebak tanpa akses bantuan maupun informasi.

 

Dikutip dari Minanews.net. Jum’at, 26 September 2025,  Dokter Nagham Abu Hamila mengirimkan pesan darurat, memperingatkan dunia akan situasi kritis di Kota Gaza, Palestina.

 

Menurutnya, tank-tank militer penjajah Zionis Israel kini telah memasuki Jalan Al-Nasser, tepat di pusat kota, dan hanya berjarak kurang dari 500 meter dari Rumah Sakit (RS) Al-Shifa, salah satu dari sedikit rumah sakit yang masih berfungsi di Kota Gaza.

 

Di saat yang sama, ribuan tank-tank Zionis memasuki jantung kota Gaza untuk mengepung warga sipil dari berbagai arah Utara, Selatan, Timur dan Barat Gaza City. Zionis juga membuka jalan Salah Al-Din selama 48 jam selama evakuasi. Akan tetapi, langkah ini dikritik luas sebagai bagian dari strategi militer apalagi untuk mengosongkan wilayah dari penduduk bukan murni dari kemanusiaan.

 

Koridor tersebut pada prakteknya hanya memberikan pilihan pahit pagi warga yakni meninggalkan rumah mereka atau tetap bertahan di bawah ancaman serangan.

 

Apa yang telah dilakukan Zionis di Gaza jelas merupakan kejahatan luar biasa, termasuk crimes agains humanity bahkan genocide. Serangan terhadap rakyat sipil, pemadaman listrik, penghancuran infrastruktur hingga pelumpuhan komunikasi, agresi ini bertujuan memusnahkan sebuah bangsa. Ironisnya, meski berulang kali di kecam PBB, lembaga Internasional, hingga penguasa negeri-negeri muslim, agresi Zionis terus berlanjut, Membuktikan kecaman itu hanya formalitas tanpa keberanian politik Menghentikan penjajah.

 

Lebih jauh, upaya Zionis memutus akses informasi di Gaza merupakan strategi jahat untuk menutupi kebiadaban mereka. Dengan membungkam media dan memutus jaringan telekomunikasi, Zionis berharap duna tidak melihat penderitaan nyata rakyat Palestina.

 

Sungguh, tindakan ini justru menegaskan bahwa mereka sadar kejahatan yang dilakukan tidak bisa dibenarkan, sehingga harus disembunyikan dari publik. Ini menambah daftar panjang praktik kolonialisme modern yang dijalankan dengan cara-cara barbar.

 

Keleluasaan Zionis dengan cara melakukan penjajahan tidak bisa dilepaskan dari dukungan penuh Amerika Serikat. Washington bukan hanya sekadar sekutu Zionis, tetapi merupakan penopang utama dalam hal senjata, logistik, politik, bahkan perlindungan diplomatik di forum internasional. Amerika berkali-kali menggunakan hak veto-nya untuk menggagalkan resolusi PBB yang menuntut penghentian agresi Zionis.

 

Dukungan ini jelas memperlihatkan bahwa proyek Zionis adalah bagian integral dari strategi Amerika untuk menjaga hegemoni di Timur Tengah. Tujuan politiknya juga sangat gamblang yaitu mencegah terjadinya kebangkitan Islam.

 

Amerika khawatir apabila umat Islam di Timur Tengah kembali bersatu di bawah satu kepemimpinan politik yakni Daulah. Maka seluruh tatanan Kapitalisme global akan terguncang. Keberadaan Daulah akan mengakhiri dominasi Barat, sumber daya strategis di kawasan, menghapus ketergantungan pada tata aturan ribawi internasional, dan menghentikan hegemoni politik yang selama ini menguntungkan Amerika dan sekutunya.

 

Oleh sebab itu, Palestina dijadikan titik kritis sebuah “frontline” untuk mengalihkan energi umat Islam agar tetap sibuk dengan luka yang tak kunjung sembuh. Sehingga bangkitnya peluang bangkitnya kekuatan politik Islam bisa ditekan.

 

Ini menunjukkan dengan jelas bahwa konflik Gaza bukan sekadar isu kemanusiaan, melainkan bagian dari perang ideologi global. Zionis hanyalah poin, sementara aktor utama yang mengendalikannya adalah Amerika dan blok kapitalis internasional.

 

Dengan begitu, maka solusi yang tepat tidak cukup dengan diplomasi atau mengandalkan lembaga internasional yang sejak awal terbukti tidak berpihak.

 

Satu-satunya jalan adalah dengan mengerahkan kekuatan nyata umat Islam. Sebab, pada dasarnya seorang imam atau pemimpin itu adalah perisai. Umat berperang di belakangnya dan berlindung dengannya. Sebagaimana hadis Bukhari dan Muslim.

 

Maka, peperangan melawan Zionis hanya akan efektif jika dipimpin oleh sebuah entitas politik mewakili seluruh umat Islam yaitu Daulah. Kehadiran Daulah bukan sekedar pilihan ideologis melainkan kebutuhan mendesak untuk melindungi darah, kehormatan, dan tanah kaum muslimin. Dan melawan penjajahan dengan jihad adalah sebuah kewajiban.

 

Sejatinya palestina akan terbebas ketika ada kekuatan militer terorganisir dan dipimpin komando politik yang sah yakni jihad fisabilillah di bawah kepemimpinan seorang Khalifah.

 

Maka, umat Islam harus punya kesadaran penuh untuk mengembalikan perisai mereka yang hilang yakni Daulah Khilafah. Tanpa adanya perisai ini, umat Islam tercerai berai, lemah dan hanya bisa menyaksikan penderitaan saudaranya tanpa mampu memberikan perlindungan nyata. Wallahu A’lam. [LM/ry].