Alamak, KDRT semakin Marak

Oleh Syifa Ummu Azka
LensaMediaNews.com, Opini_ Luka yang Bermula dari Rumah
Indonesia tengah menghadapi krisis moral yaitu darurat kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan remaja. Di Malang, seorang suami siri tega membakar dan mengubur istrinya di kebun tebu (BeritaSatu, 18/10/2025). Di Dairi, seorang ayah memperkosa anaknya hingga puluhan kali Di Grobogan, pelajar SMP meninggal setelah dikeroyok teman sekolahnya sendiri. Rentetan berita ini bukan kebetulan; ini adalah potret rapuhnya ketahanan keluarga dan hilangnya arah moral di tengah masyarakat modern.
Data GoodStats mencatat, hingga September 2025 saja, lebih dari sepuluh ribu kasus KDRT telah terjadi di Indonesia. Jumlah ini hanyalah puncak gunung es dari kekerasan yang tidak dilaporkan. Di saat yang sama, angka kekerasan yang dilakukan oleh remaja meningkat drastis, mulai dari perundungan hingga pembunuhan. Semua ini menandakan ketidakberesan dalam kehidupan berkeluarga. Keluarga yang seharusnya menjadi pusat kasih sayang, telah kehilangan ruh ketakwaannya. Tanpa nilai agama, rumah hanyalah bangunan tanpa arah.
Sekularisme, Akar yang Menumbuhkan Kekerasan
Penyebab utama dari semua ini bukan semata kurangnya pendidikan moral, melainkan cara pandang hidup yang sekuler. Sekularisme menyingkirkan agama dari ruang kehidupan, membuat keluarga kehilangan fondasi spiritual dan tanggung jawab moral. Ketika nilai takwa tak lagi menjadi dasar rumah tangga, kasih berubah menjadi amarah, dan pernikahan kehilangan makna sakralnya. Allah SWT berfirman, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri supaya kamu merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang” (QS. Ar-Rum [30]: 21)
Namun bagaimana mungkin mawaddah dan rahmah tumbuh di tengah budaya yang mengagungkan kebebasan tanpa batas? Sistem pendidikan sekuler-liberal menumbuhkan generasi yang individualistik, mengejar kesenangan pribadi tanpa peduli tanggung jawab. Nilai kebebasan ini merasuk ke rumah tangga, melahirkan suami yang merasa berhak menindas, istri yang kehilangan arah, dan anak yang tumbuh tanpa teladan moral. Materialisme memperparah keadaan. Kebahagiaan diukur dari harta dan status, bukan kekuatan iman. Maka tak heran, tekanan ekonomi bisa memicu ledakan emosi dan kekerasan.
Tak hanya itu, negara pun tampak abai. Undang-undang seperti UU PKDRT memang ada tetapi sifatnya hanya reaktif menindak setelah kekerasan terjadi. Ia tak menyentuh akar persoalan yang bersumber dari sistem hidup yang salah. Hukum positif tidak mampu mengubah manusia dari dalam, karena ia tak memberi arah hidup yang pasti. Ia hanya menambal luka, tanpa menyembuhkan penyakitnya.
Islam Menawarkan Solusi yang Menyeluruh
Islam datang dengan sistem yang menyeluruh untuk membangun keluarga dan masyarakat yang kuat. Pendidikan Islam bukan sekadar memberi pengetahuan duniawi, tetapi membentuk kepribadian bertakwa dan berakhlak mulia, baik di lingkungan keluarga maupun negara. Dalam rumah tangga Islam, suami diposisikan sebagai qawwam, pelindung dan penanggung jawab keluarga, sementara istri dimuliakan sebagai pendidik generasi dan penjaga kehormatan. Dengan peran yang diatur syariat, kekerasan dapat dicegah sejak akar, bukan sekadar diobati setelah terjadi.
Negara dalam pandangan Islam berperan sebagai raa’in, pelindung rakyatnya. Ia menjamin kesejahteraan agar keluarga tidak terhimpit oleh tekanan ekonomi, menyediakan pendidikan dan layanan sosial yang menumbuhkan keimanan, bukan sekadar mengejar angka. Rasulullah SAW bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya” (HR. Bukhari dan Muslim). 
Maka, pemimpin negara wajib memastikan seluruh sistem kehidupan berjalan dalam koridor syariat.
Di sisi lain, hukum Islam juga memiliki sisi tegas dan mendidik. Pelaku kekerasan dijatuhi sanksi yang menjerakan, bukan sekadar hukuman administratif. Tujuannya bukan hanya memberi efek jera, tapi juga menumbuhkan kesadaran bahwa setiap tindakan harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Dengan penerapan syariat Islam secara kaffah, keadilan ditegakkan bukan karena tekanan publik, tapi karena iman yang hidup di dada setiap manusia.
Kini, sudah saatnya umat Islam sadar bahwa problem kekerasan tak akan selesai dengan pendekatan hukum parsial. Ia hanya bisa disembuhkan bila keluarga, masyarakat, dan negara kembali berpegang pada aturan Allah secara menyeluruh. Hanya dengan sistem Islam, kasih sayang dapat kembali mengalir di rumah-rumah kita, dan generasi muda akan tumbuh sebagai pribadi beriman, bukan korban dari sistem yang kehilangan Tuhan.
