Benang Merah Raja Ampat dan Palestina

20250629_194326

Oleh: Sylviantia Najma

 

LenSaMediaNews.Com–Melihat perkembangan berita di berbagai media saat ini, begitu banyak informasi yang kita terima dengan begitu cepat dari seluruh dunia, baik dalam maupun luar negeri. Mau tidak mau, kondisi ini meminta perhatian kita. Sulit rasanya untuk mengabaikan informasi tersebut begitu saja, apalagi sebagai muslim yang memiliki tanggung jawab untuk selalu peduli pada hal-hal yang terjadi di sekitarnya.

 

Beberapa waktu belakangan ini, perhatian kita terarah pada berita berkaitan dengan yang terjadi di Raja Ampat, Papua Barat dan Palestina. Di satu sisi, aktivitas penambangan nikel yang disinyalir menjadi ancaman besar akan ekosistem lain dan hutan di kepulauan Raja Ampat mendorong gerakan masif di berbagai platform media sosial demi menunjukkan kepedulian terhadap kerusakan lingkungan dan kehidupan masyarakat di sekitarnya (BBC.com, 11-6-2025).

 

Di sisi lain, mata seluruh dunia tertuju pada aksi kemanusiaan “Global March to Gaza” yang dilaksanakan pada 13—15 Juni 2025 di Mesir. Aksi ini merupakan wujud kepedulian dan solidaritas seluruh dunia akan kondisi rakyat Palestina yang telah menderita selama hampir dua tahun akibat genosida oleh kafir penjajah Israel. Harapannya, dengan aksi damai ini para relawan bisa menembus blokade masuknya bantuan ke wilayah Gaza (Tempo.co, 20-6-2025).

 

Melihat dua peristiwa ini, sebagai muslim, penting bagi kita untuk mencoba melihat hubungan di antara keduanya. Jika kita menelisik lebih jauh, kasus Raja Ampat dan Palestina memiliki hubungan yang erat dan bersifat prinsipil. Jika dilihat secara sepintas, keduanya seolah-olah tidak berhubungan secara langsung. Namun, dengan kaca mata ideologis maka kita bisa melihat keduanya terhubung dengan benang merah yaitu pada kepemilikan dan pengelolaan tanah.

 

Palestina adalah tanah suci umat Islam, Baitulmaqdis, dan kiblat pertama umat Islam yang dirampas dan diduduki oleh penjajah. Sedangkan Raja Ampat (dan wilayah lainnya) di Indonesia adalah tanah milik kaum muslim yang sudah seharusnya menjadi sumber kemakmuran dan keberkahan bagi rakyat. Akan tetapi, tanah-tanah tersebut dikeruk kekayaannya oleh perusahaan-perusahaan, yang sebagiannya adalah swasta, yang katanya telah mendapatkan izin dari pemerintah.

 

Dari masalah Raja Ampat dan Palestina ini kita bisa melihat paradigma penguasa akan kepemilikan dan pemanfaatan tanah. Wilayah kepulauan Raja Ampat bisa ditambang seenaknya tanpa memikirkan dampak pada lingkungan karena pemerintah telah memberi izin dengan membuat hukum dan UU yang melancarkan kerakusan oligarki.

 

Sedangkan Palestina sampai saat ini tidak kunjung mendapatkan pertolongan yang tepat dan solutif karena bungkamnya pemimpin dan tidak bersatunya kaum muslim di seluruh dunia. Hal ini tidak terlepas dari kurangnya rasa memiliki akan tanah suci umat Islam dan ketiadaan Khalifah yang menyatukan seluruh muslim dalam satu bendera kekhalifahan Islam.

 

Dari sini pula kita bisa melihat sejauh mana sistem Kapitalis sekuler telah membawa kerusakan di seluruh penjuru dunia. Kaum muslim Indonesia seharusnya dapat belajar dari rakyat Palestina terkait akan penjagaan tanah. Telah nyata bagaimana rakyat Palestina menjaga dan membela tanah miliknya dengan dorongan kekuatan iman, Islam, dan dengan jihad.

 

Sesungguhnya Islam telah mengatur seluruh aspek kehidupan sehingga sudah seharusnya setiap jengkal tanah umat Islam dijaga serta dikelola dengan baik dan semestinya sehingga membawa kemakmuran dan keberkahan serta rahmat bagi seluruh alam. Tak ada lagi yang bisa diharapkan dari hukum buatan manusia yang jelas-jelas hanya sebagai jalan untuk melancarkan kerasukan yang tak akan ada habisnya dan merusak. Wallahualam bissawab. [LM/ry].