Berburu Wajib Pajak: Solusi Krisis Anggaran atau Jalan Pintas Pemerintah?

Blue and White Modern Bordered Background Instagram Post_20250917_144857_0000

Oleh: Dewi Sri Murwati, S.M

 (Penulis & Aktivis Dakwah)

LenSa Media News _ Opini _ APBD Perubahan tahun 2025 Kota Banjarmasin berpotensi mengalami defisit. BPKPAD (Badan Pengelola Keuangan, Pendapatan, dan Aset Daerah) Banjarmasin harus menggali potensi pendapatan asli daerah yang baru. Kepala BPKPAD menegaskan bahwa Pemerintah Kota Banjarmasin tidak bisa hanya terus berharap pada anggaran dari pemerintah pusat karena belanja daerah terus bertambah sementara ruang fiskal makin terbatas. Maka salah satu cara yang bisa dilakukan untuk menjaga stabilitas anggaran adalah dengan mendata ulang objek pajak, mulai pajak bumi dan bangunan, pajak restoran hingga pajak hiburan. Wakil ketua DPRD Kota Banjarmasin memberikan usulan untuk mendorong dilakukannya penertiban dan penegakan hukum bagi wajib pajak yang nakal, diharapkan tidak hanya diberikan imbauan tapi juga tindakan yang tegas. Karena wajib pajak menjadi kunci agar defisit bisa tertutupi (Prokal.co, 05 – 09 – 2025).

 

Belakangan ini pemerintah di daerah Kalimantan Selatan semakin intens dalam memacu kepatuhan masyarakat untuk membayar pajak, berbagai macam cara dilakukan di antaranya seperti program sembako gratis, layanan pajak mobil keliling, program pemutihan dan gebyar panutan pajak. Seluruh program ini merupakan tuntutan dari DPRD dan pemerintah daerah agar aparat keuangan daerah bisa menggali potensi PAD baru sehingga saat ini pemerintah daerah semakin gencar ‘berburu wajib pajak’. Ungkapan ini mencerminkan adanya dorongan kuat agar pajak daerah bisa dioptimalkan semaksimal mungkin.

 

Adanya tekanan fiskal inilah yang membuat pola penagihan pajak saat ini makin agresif. Aparat keuangan daerah bisa saja akan memperketat dalam penagihan tunggakan, memperluas objek pajak, atau dengan memberikan aturan lebih keras tehadap perpajakan daerah. Namun cara yang agresif ini akan membuat terjadinya resistensi, baik dalam bentuk keterlambatan pembayaran pajak, perlawanan administratif, bahkan sampai penghindaran pajak. Dalam jangka panjang akan membuat hilangnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah daerah. Sehingga strategi ‘berburu wajib pajak’ perlu dievaluasi kembali sekalipun dengan cara memberikan program-program bantuan kepada masyarakat untuk memacu kepatuhan dalam membayar pajak.

 

Dalam kapitalisme, pajak diposisikan sebagai kewajiban finansial yang sifatnya memaksa berdasarkan undang-undang. Karena negara memiliki otoritas penuh untuk memungut pajak dari rakyat, dan rakyat tidak memiliki pilihan selain tunduk dan patuh pada aturan tersebut. Pajak digunakan untuk membiayai belanja publik, baik yang bersifat pembangunan fisik ataupun administrasi pemerintah. Dalam kerangka sistem kapitalisme pajak dipandang sebagai instrumen fiskal yang sifatnya sangat vital karena menjadi sumber utama pendapatan negara.

 

Namun pada praktiknya, pajak tidak selalu dimaknai sebagai kewajiban warga negara tapi dapat berubah menjadi instrumen yang sarat akan kepentingan politik. Pajak bisa menjadi alat eksploitasi yang membebani rakyat, terutama ketika besarnya biaya pajak tidak sebanding dengan kesejahteraan yang dirasakan masyarakat. Alih-alih digunakan untuk meringankan beban rakyat, pajak justru berpotensi menambah penderitaan, menciptakan kesenjangan, dan memperburuk kondisi ekonomi masyarakat menjadi semakin sulit.

 

Sedangkan dalam Islam, pajak bukan menjadi sumber utama keuangan negara. Pajak hanya dipungut ketika kas Baitul Mal kosong, dan penarikan pajak juga terbatas kepada kebutuhan yang sangat mendesak. Mekanisme seperti ini menunjukkan bahwa beban keuangan negara tidak dibebankan kepada rakyat melalui pajak, namun pajak dijadikan sebagai langkah darurat yang sifatnya sementara saja. Hal ini sangatlah berbeda jauh dari sistem kapitalisme yang menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Maka problem utama atas krisisnya anggaran bukan dengan ‘berburu wajib pajak’ bagi rakyat yang enggan membayar, melainkan pada sistem pajak itu sendiri yang sudah timpang, sarat penyalahgunaan, dan kehilangan legitimasi.

 

Islam menempatkan beban keuangan negara bukan berada di pundak rakyat kecil, melainkan melalui zakat, pengelolaan sumber daya alam yang pelaksanaannya dilakukan langsung oleh negara dan bukan diberikan kepada pihak swasta apalagi pihak asing, kemudian seluruh hasil alam dikembalikan lagi untuk kesejahteraan masyarakat. Selain itu poin utama adalah harta milik umum merupakan pilar utama keuangan negara. Dengan sistem Islam, kebutuhan negara dapat dipenuhi tanpa membebani rakyat kecil. Keuangan negara dikelola sesuai syariat yang menjamin keadilan, transparansi dan keberkahan. Sehingga masyarakat sangat jauh dari kata sengsara akibat pajak yang menindas. Inilah bentuk nyata dari sistem yang benar-benar berpihak kepada rakyat, sekaligus memastikan agar terciptanya kesejahteraan yang merata dalam bingkai hukum Allah Sang Pencipta seluruh alam semesta dan Maha mengetahui segalanya.

WallahuA’lam Bishshawab.

(LM/Sn)