Bergoyang Senang, Akad Wakalah Hanya Pajangan

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
LenSaMediaNews.Com–Beredar video memperlihatkan Ahmad Sahroni, Wakil Ketua Komisi III DPR menyebut mereka yang menyeru bubarkan DPR adalah orang tolol sedunia. Menurutnya, peran dan fungsi DPR di Indonesia sangat vital. Sungguh respon yang cukup keras, bagi seseorang yang menetapi akad wakalah, perwakilan rakyat.
Politisi Nasdem itu seolah lupa, untuk duduk di posisinya saat ini ia harus mengemis suara rakyat terlebih dahulu, bernegoisasi dengan pemberi modal dan timses agar strategi kemenangan teraih. Memang jalan yang tak mudah, namun sekali lagi, duduk memegang wewenang ada konsekwensinya.
Sahroni masih memberi tekanan, sebagai wakil rakyat yang dipilih langsung oleh rakyat, DPR punya peranan yang vital di Indonesia. Mengingat DPR merupakan bagian dari sistem pemerintahan. Bila DPR dibubarkan, bukannya akan membuat keadaan menjadi baik, dia menyebut, kondisinya malah bisa menjadi gawat (postmetropadang.com, 25-8-2025).
Namun inilah ironi yang akan terus dipertontonkan dalam Sistem sekular Kapitalisme ini. Wakil rakyat, seolah sudah benar-benar mewakili kekayaan berlimpah dibanding rakyat yang mereka wakili. Gaji resmi mereka setelah diberlakukannya tunjangan rumah senilai Rp50 juta per bulan menjadi sangat fantastik yaitu Rp100 juta perbulan.
Bahkan pernyataan wakil Ketua DPR Adies Kadir menjadi bulan-bulanan masyarakat saat ia berusaha menjelaskan tunjangan rumah sebesar Rp50 juta dengan asumsi harga kos perbulan Rp3 juta perbulan, namun ia menghitungnya jadi Rp3 juta perhari, dikali 26 hari kerja, total Rp78 juta, Maka tunjangan Rp50 juta sebulan itu masih kurang, ia akan berusaha mencari kos dengan harga Rp1 juta saja. Beginilah rata-rata orang yang kita percaya untuk mewakili suara kita di parlemen.
Di tengah upaya efisiensi yang dilakukan oleh pemerintah sendiri, terasa ironi, sebab jelas akan semakin menjadi beban APBN, jumlah anggota DPR total 580 orang. Belum para Menteri dan wakil menterinya. Di sisi lain, pajak dinaikkan ugal-ugalan di beberapa daerah sehingga memicu konflik masyarakat seperti di Pati,
Akar Persoalannya Penerapan Sistem Kapitalisme
Para anggota parlemen itu terus bergoyang dengan alasan untuk menetralisir ketegangan, padahal di sisi lain banyak wakil rakyat yang tertidur atau bermain game saat rapat, dimana tegangnya? Dan sepanjang kita menerapkan Sistem Kapitalisme, yang melahirkan Sistem politik Demokrasi, Maka akan selalu disuguhkan pemandangan menusuk hati ini. Akan terus bermunculan orang yang mewakili bukan karena simpati atau peduli, melainkan untuk bertahan hidup.
Ketika jabatan terlalu biasa, keartisan atau ketokohan mereka sadari tak selamanya bisa menopang gaya hidup mereka maka masuk parlemen menjadi pilihan. Berkelindan mesra dengan partai yang juga ingin tetap di hati rakyat dengan maksud yang sama, memiliki pengaruh di pemerintahan Dan penguasaan beberapa posisi strategis akhirnya terjadilah mutualisme simbiosis.
Jelas korbannya adalah rakyat. Dalam Sistem Kapitalisme wakil rakyat bukan hanya mewakili suara rakyat tapi berkuasa membuat undang-undang. Dengan cara bermusyawarah yang dianggap cara paling demokrastis memutuskan sesuatu hukum atau kebijakan.
Masalahnya, karena asasnya sekuler, pemisahan agama dari kehidupan, maka hukum yang diterapkan seringkali menabrak halal haram. Contoh aturan bolehnya menjual minuman keras di tempat-tempat wisata, alasannya ada wisatawan mancanegara yang butuh diservis. Lantas, bagaimana dengan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam? Ini baru satu hukum, masih banyak lagi hukum yang diterapkan semakin agama dibuang.
Islam Sistem Sempurna
Dalam Sistem Islam ada perwakilan rakyat yang disebut Majelis Umat. Terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat baik muslim maupun non muslim. Namun fungsi mereka hanya memberikan masukan secara teknis dan tidak mengikat Khalifah tentang berbagai kebijakan yang sudah sedang bahkan belum dijalankan. Hal ini tentu mencontoh Rasûlullâh yang selalu bermusyawarah dengan para sahabat.
Samasekali tak ada kewenangan membuat hukum karena negara berdasarkan syariat, artinya hanya hukum Allah yang berlaku. Pada dasarnya, menyampaikan pendapat, aspirasi, koreksi (muhâsabah) dan usulan kepada Daulah Khilafah menjadi hak setiap warga negara, dan penyampaian hak itu bisa secara langsung, atau mewakilkannya kepada orang lain. Sedangkan bagi non muslim hanya ada hak mengkritisi kebijakan pemerintah yang belum ia terima.
Majelis Umat bukan ASN yang kemudian digaji negara. Jika pun ada yang harus dianggarkan untuk menunjang kinerjanya, itu berupa santunan secukupnya. Demikian pula jika ada fasilitas negara yang dipergunakan semata bagian dari pemberian negara yang berhak diperoleh tiap individu warga. Dan sepanjang sejarah, dorongan terkuat menjadi Majelis Umat adalah keimanan yang kuat, dan kesadaran pentingnya bermuhasabah kepada negara agar senantiasa berada di treknya.
Soal jaminan hidup, mereka tak beda dengan warga negara yang lain, dimana negara hadir sepenuhnya sehingga kesejahteraan adalah kenyataan. Justru mereka berlomba-lomba amar makruf nahi mungkar sebab itulah keuntungan sejati yang akan diterima di akhirat kelak. Wallahualam bissawab. [LM/ry].