Bias Merdeka

Oleh Lulu Nugroho
LensaMediaNews.com, Opini_ Hari merdeka senantiasa semarak dengan kemeriahan. Ada bendera, lampu, hiasan warna-warni terpasang di mana-mana. Aneka lomba pun diadakan, semuanya demi menyambut hari kemerdekaan. Namun sayangnya hanya sebatas seremonial belaka, perlu pemahaman yang lurus memaknai kemerdekaan, agar tak merasa cukup dengan kondisi yang ada, dan berhenti berjuang di tengah jalan.
Namun kata merdeka, kini menjadi mudah disebut. Seolah keindahan yang sengaja dihadirkan, untuk menutupi kekurangan dan kerusakan. Bak make-up (tata rias) di wajah keriput ibu pertiwi yang menua, tak menjadikannya cantik, justru membuatnya tampak semakin nelangsa.
Sulitnya bilang ‘merdeka’, di tengah kehidupan yang terasa sempit. Permasalahan berkelindan nyaris di semua lini. Manusia berjibaku mengerahkan segenap daya, berusaha menuntaskannya. Alhasil menjadi sulit membangun potensi diri, apalagi menegakkan peradaban, karena energi telah dihabiskan untuk ke luar dari satu masalah ke masalah lainnya.
Merdeka dalam Pandangan Islam
Maka perlu menemukan makna kemerdekaan yang hakiki, agar tak salah menemukan jati diri. Sebab merdeka tak hanya bebas dari serangan fisik, sebab penjajahan akan tampil dengan beragam wajah, baik melalui kebijakan, program bantuan, pinjaman, hiburan dan sebagainya. Menurut KBBI, merdeka adalah bebas (dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya); berdiri sendiri.
Islam memiliki makna khusus yang akan menuntun kita kepada gerak yang benar yakni menyandarkan seluruh aktivitas hanya kepada Allah SWT. Dalam kitab Ath-Thabari, Tarikh Ath-Thabari 4/106, Ibn Al-Atsir, Al-Kamil 2/463, Saad bin Abi Waqash mengutus Rib’i bin Amir untuk menemui Jendral Rustum, seraya memperkenalkan Islam dalam prolog futuhat ke Persia. Dengan tampilannya yang sederhana, ia membawa gagasan Islam yang sangat cemerlang. Yang pertama ia sampaikan bahwasanya Allah SWT mengutusnya untuk mengeluarkan manusia dari penghambaan kepada makhluk, menuju penyembahan kepada Allah. Maka jelas bahwa kedaulatan ada pada hukum syarak. Bukan hukum buatan manusia. Penghambaan hanya kepada Ilahi Rabbi, bukan yang lain, adalah kemerdekaan hakiki.
Kedua, ia menyampaikan bahwa Allah akan mengeluarkan manusia dari kesempitan menuju kelapangan. Bisa kita saksikan saat ini pesatnya pembangunan, tidak berbanding lurus dengan kondisi masyarakat. Negeri seolah berjaya, tetapi terjadi kesenjangan ekonomi yang sangat tinggi, pemutusan hubungan kerja (PHK), kemiskinan, kriminalitas, dan sebagainya, menunjukkan ada yang salah dalam pembangunan tersebut, yaitu ketika ia tidak berpijak pada pondasi Islam. Pembangunan yang tidak didedikasikan untuk meraih rida Allah adalah bentuk ketidakmerdekaan.
Begitu pula halnya dengan aktivitas manusia yang tidak merujuk pada syariat, maka dipastikan akan menuai petaka dan memunculkan banyak permasalahan. Inilah fakta bahwasanya manusia belum merdeka, sebab masih dikuasai hawa nafsunya atau di bawah kekuatan lain, yang menegasikan peran Allah sebagai Al-Mudabbir.
Ketiga adalah mengeluarkan manusia dari kezaliman agama yang ada, menuju keadilan Islam. Tampak hari ini, banyaknya krisis mental yang mendera manusia di berbagai usia. Fenomena bunuh diri menjadi tren saat manusia hanya melihatnya sebagai satu-satunya solusi, ke luar dari masalah. Penguasa tidak mengelola urusan umat, sebaliknya justru menyengsarakan mereka.
ٱتَّخَذُوٓا۟ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَٰنَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ ٱللَّهِ وَٱلْمَسِيحَ ٱبْنَ مَرْيَمَ وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوٓا۟ إِلَٰهًا وَٰحِدًا ۖ لَّآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَٰنَهُۥ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Artinya: Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al-Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.
(QS At-Taubah: 31)
Inilah bukti bahwa kita belum merdeka, sebab masih jauh dari tuntunan Allah. Karenanya tak boleh berpuas diri, larut dalam euforia yang melenakan. Perjuangan harus terus dilakukan, sampai syariat Allah diterapkan secara kaffah dan manusia mengambilnya sebagai jalan hidup.
Saat manusia tak takut menyampaikan dakwah, tak merasa asing dengan ajaran Islam, taat kepada seluruh aturan Allah dan menghamba hanya kepada Allah semata, saat itulah ia telah merdeka.