Dari Korban Jadi Pelaku Kejahatan

Oleh : Tety Kurniawati
LenSaMediaNews.Com–Fenomena korban bullying yang melakukan balas dendam melalui tindak kejahatan merupakan isu serius yang dikenal dalam psikologi sosial sebagai rangkaian dari siklus korban-pelaku (victim-to-offender cycle).
Hal ini terjadi saat luka psikologis yang mendalam bermuara pada besarnya hasrat untuk menegakkan keadilan. Tapi sistem sosial dan hukum yang ada dianggap gagal menjalankan peranan. Korban pun terdorong melakukan perilaku ekstrim sebagai jalan keluar.
Kasus yang mencuri perhatian dunia antara lain insiden penembakan sekolah Columbine High School, Amerika Serikat tahun 1999. Disinyalir kuat pelaku merupakan korban bullying kronis di sekolah.
Insiden lain terjadi di Finlandia tahun 2024. Seorang anak berusia 12 tahun nekat melakukan penembakan di sekolah Viertola yang menewaskan satu siswa dan melukai dua lainnya. Motifnya pelaku kerap menjadi korban perundungan.
Kondisi di negeri tercinta juga tak kalah memprihatinkan. Kasus bullying di Indonesia terus memperlihatkan tren peningkatan. Peristiwa terhangat. Seorang santri di Aceh Besar membakar gedung asrama pesantren tempat dia belajar.
Aksi diduga dipicu oleh perundungan yang sering dia alami dari sesama santri (liputan6.com, 08-11-2025). Berikutnya, ledakan bom di SMA Negeri 72 Jakarta. Korban mencapai 96 orang (cnnindonesia.com, 12-11-2025).
Perundungan yang pada awalnya dilabeli sebagai kenakalan anak-anak. Kini terbukti membawa dampak serius bagi dunia pendidikan dan perlindungan generasi.
Problem Sistemik
Kasus perundungan yang terjadi di berbagai daerah membuktikan jika problem yang ada bukan sekadar perkara individu. Antara korban dan pelaku. Namun masalah struktural mendalam yang melibatkan berbagai aktor dan faktor sistemik dunia pendidikan.
Hal ini juga menunjukkan rapuhnya pondasi pendidikan yang berdasarkan sistem sekuler. Pemisahan agama dari kehidupan membuat lingkungan pendidikan tak lagi berperan sebagai ruang pembentukan pribadi yang berakhlak dan berkarakter mulia.
Sebaliknya, menjadi arena kompetisi eksistensi diri, ketimpangan relasi sosial dan ajang legitimasi superioritas. Nilai-nilai kemanusiaan yang harusnya melekat sebagai insan berpendidikan hilang. Tergantikan dengan budaya kompetitif yang tak sehat dan merusak.
Pendidikan dalam Sistem Kapitalisme dipandang sebagai komoditas ekonomi, bukan kebutuhan dasar yang dijamin negara untuk terpenuhi. sekolah sekedar pencetak tenaga kerja siap pakai dan pendukung pertumbuhan ekonomi. Bukan membina generasi agar bermoral, berakhlak serta berkarakter mulia. Wajar jika perundungan dan tindak kekerasan ekstrim jadi konsekuensinya.
Dilain sisi, paparan media sosial berpengaruh memperparah aksi pelaku bullying. Bahkan bullying kerap dijadikan candaan, konten hiburan maupun ajang mengejar validasi dan ketenaran. Sementara bagi korban bullying, media sosial kerap menjadi rujukan mencari pelampiasan. Tindakan membahayakan nyawa orang lain pun dilakukan. Dampaknya siklus kekerasan dilingkungan pendidikan terus berkelanjutan.
Islam Mencetak Generasi Berkualitas
Pendidikan dalam Islam bertujuan untuk membentuk kepribadian Islam. Maka aktivitas pendidikan sejatinya merupakan sarana dalam rangka membentuk kepribadian manusia agar mampu menempatkan halal dan haram dalam setiap aktivitas yang dilakukan, serta membentuk keimanan dan ketakwaan yang kokoh terhadap Sang pemilik kehidupan.
Proses pendidikan dilakukan dengan metode pembinaan intensif, membentuk pola pikir dan pola sikap Islam yang padu dalam kepribadian tiap individu generasi.
Proses ini bertujuan untuk mengembangkan potensi generasi secara harmonis, tidak hanya fokus pada nilai materi berupa prestasi akademik, tetapi juga nilai ruhiyah dan maknawi berupa aspek kesadaran sebagai hamba yang harus terikat dengan aturan Rabb-Nya dan faham dari mana, untuk apa dan kemana manusia akan dikembalikan. Output sistem pendidikan dipastikan berpengetahuan luas sekaligus berakhlak mulia.
Akidah Islam menjadi kurikulum mutlak pendidikan baik di rumah, di sekolah maupun di lingkungan sosial. Adab yang menjadi dasar pendidikannya, menghadirkan kesopanan, etika, dan akhlakul karimah sebagai fondasi penting dalam proses belajar mengajar, yang harus didahulukan sebelum ilmu itu sendiri.
Alhasil, anak didik akan menggunakan ilmu dengan bijak dan bertanggung jawab, bukan untuk memuaskan ego duniawi dan kesombongan manusia.
Islam mewajibkan negara menjamin terselenggaranya pendidikan berkualitas dan gratis. Sekaligus menerapkan pembinaan moral umat dan perlindungan warga negara dari paparan pemikiran dan budaya negatif media sosial melalui pendekatan komprehensif.
Mencakup aspek regulasi, pengawasan, dan edukasi agar generasi terhindar dari berbagai potensi kezaliman sosial dan mewujudkan rasa aman dalam berkehidupan. Kala jaminan pendidikan berkualitas bersinergi dengan metode akurat perlindungan generasi. Hadirnya generasi unggul pemimpin peradaban gemilang bukanlah mimpi. Wallahu a’lam bishawwab. [LM/ry].
