Gurita Bisnis Air Minum Dalam Kemasan (AMDK), Jahat!

Oleh: Ariani
LenSaMediaNews.Com–PBB mengingatkan lonjakan konsumsi air kemasan mencerminkan kegagalan pemerintah untuk meningkatkan pasokan air publik. Situasi ini mengancam tujuan pembangunan berkelanjutan PBB untuk air minum yang aman pada 2030 dengan harga terjangkau.
Menurut Institute for Water, Environment, and Health United Nations University (UNU-INWEH), pasar air kemasan tumbuh 73 persen dari 2010 hingga 2020. Dalam laporan itu, PBB memperkirakan sekitar 2,2 miliar orang tidak memiliki akses ke air minum yang aman.
Negara-negara berkembang bergantung pada air kemasan untuk mengatasi kekurangan ini. PBB juga menyoroti bahwa pemerintah terlalu sering menyerahkan penyediaan air minum yang aman kepada pihak swasta (sawitku.id, 22-03- 2023).
Bisnis AMDK Mematikan Hajat Hidup Rakyat
Air minum dalam kemasan merupakan salah satu produk minuman paling populer di dunia. Perusahaan air minum kemasan mengeksploitasi air permukaan dan akuifer (lapisan kulit bumi berpori yang dapat menahan air) biasanya dengan biaya yang sangat rendah, kemudian menjualnya dengan harga 150 hingga 1.000 kali lebih mahal daripada unit air keran di kota yang sama.
Mereka kerap menjustifikasi tingginya harga ini dengan menawarkannya sebagai produk alternatif yang sepenuhnya aman dibanding air leding. Padahal, ekstraksi sumber daya untuk air minum kemasan dapat membuat wilayah yang kadar air tanahnya menurun semakin kekurangan air (kompas.com 03-04-2023).
Banyak sumber mata air di kawasan hulu DAS Brantas yakni kawasan Arjuno Welirang yang mengalami penurunan debit karena rusaknya kawasan hutan di Arjuno Welirang sebagai tangkapan dan resapan air, serta eksploitasi air yang berlebihan dari perusahaan penyedia air minum, hotel dan perumahan elit.
Banyak sumber mata air mengalami beban ganda. Contohnya pada Sumber Umbulan di Pasuruan, selain diekstraksi oleh puluhan perusahaan air minum, juga menopang kehidupan sebagian warga Kota Surabaya. Padahal air sebagai hak dasar, setiap orang berhak memanfaatkannya, justru yang terjadi sebaliknya, kini air telah menjadi komoditas dan dinikmati begitu saja oleh segelintir orang.
Kondisi tersebut turut difasilitasi dengan keberadaan Undang-undang Nomor UU No. 17 Tahun 2019 Tentang Sumber Daya Air dan Undang-undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 yang kemudian menjadi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (betahita.id, 22-03 2024).
inilah jahatnya Sistem Ekonomi Kapitalisme, yang memandang alam sebagai sumber daya yang dapat dieksploitasi secara bebas untuk menghasilkan profit, dengan biaya kerusakan lingkungan dibebankan kepada masyarakat dan lingkungan itu sendiri. Hal ini berbeda dalam Sistem Islam.
Sumber Air dalam Kacamata Syariat Islam
Tindakan kapitalisasi sektor air yang sangat vital bukan hanya menzalimi rakyat dan berbahaya, tetapi juga bertentangan dengan syariat Islam. Dalam pandangan Islam, sumber daya air termasuk salah satu kepemilikan umum yang haram untuk dikapitalisasi dan diswastanisasi.
Kedudukannya sama dengan sumber daya alam lainnya sebagai kepemilikan umum, seperti barang tambang, migas, hutan, dan lainnya. Penguasa wajib mengelola semua kepemilikan umum ini dan memberikan manfaatnya kepada rakyat.
Terkait hal ini Rasulullah saw. bersabda, “Kaum muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput, dan api.” (HR Ibnu Majah). Juga sabdanya, “Tiga hal yang tidak boleh dimonopoli: air, rumput, dan api.” (HR Ibnu Majah).
Negara dalam Sistem Islam, tidak akan memberikan hak kepada individu tertentu untuk memiliki perusahaan sumber air bersih, namun negara secara mandiri akan mengelola keberadaan sumber air bersih tersebut untuk hajat hidup umat.
Sahabat Rasullah telah memberi contoh bahwa sumber air adalah hak umat. Ketika terjadi krisis air, Ustman bin Affan berinisiatif membeli sumur milik seorang Yahudi. Ustman kemudian mewakafkannya kepada penduduk Madinah agar mengambil air di sumur tersebut.
Pada tahun 789, Khalifah Harun ar-Rasyid membangun waduk di bawah tanah yang berfungsi sebagai penampung air hujan di kota Ramla. Seorang Khalifah Bernama Fannakhusru bin Hasan yang berkuasa pada 324—372 H/936—983 M, dikenal sebagai khalifah pembangun bendungan karena pada masanya banyak bendungan dibangun untuk mencegah krisis air.
Semua ini merupakan wujud dari fungsi kepemimpinan dalam Islam yang berdasarkan asas keimanan. Para penguasa dalam Sistim Islam benar-benar memfungsikan dirinya sebagai raa’in (pengurus) sekaligus junnah (penjaga) bagi seluruh rakyat.
Rasulullah saw., “Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah yang kelak pada hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan. Kecuali mereka yang melaksanakannya dengan cara baik, serta dapat menjalankan amanahnya sebagai pemimpin.” (HR.Muslim). Penguasa dalam sistem Islam bukan pelayan kepentingan oligarki atau koorporasi asing seperti dalam Sistim Kapitalis sekuler seperti saat ini. Wallahualam bissawab. [LM/ry].
