Ironi Demokrasi: Matinya Nurani Para Penguasa Negeri

Oleh: Chaya Yuliatri
Aktivis Muslimah DIY
LenSaMediaNews.Com–“Ampun, Pak. Tolong, Pak. Jangan pukulin saya lagi.” Inilah kata-kata yang sempat keluar dari Iko Juliant dalam kondisi tidak sadarkan diri setelah menjalani operasi. Sayangnya, takdir berkata lain, Iko mengembuskan napas terakhirnya di RSUP Dr. Kariadi, Semarang pada Minggu, 31 Agustus 2025 (Tirto.id, 03-09-2025).
Di Yogyakarta, kabar duka pun menyelimuti dengan meninggalnya seorang mahasiswa Universitas Amikom Yogyakarta, Rheza Sendy Pratama dengan kondisi luka-luka di tubuhnya, Minggu, 31 Agustus 2025 (Kompas.id, 31-08-2025)
Sebelumnya, seorang driver ojol bernama Affan Kurniawan meninggal dunia setelah dilindas kendaraan taktis Brimob. Kejadian ini memicu kemarahan massa akibat tindakan represif aparat penegak hukum.
Menurut data Komnas HAM, total korban meninggal akibat aksi demonstrasi pada akhir Agustus 2025 adalah 10 orang. Demonstrasi ini disinyalir merupakan ledakan kekecewaan warga atas isu-isu kontroversial yang kerap ditampilkan para legislator di depan publik.
Ironi Demokrasi
Negara menjamin setiap warga negara menyampaikan pendapatnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu, aksi demonstrasi yang terjadi pada akhir Agustus merupakan hal yang dilindungi undang-undang, terlepas dari kericuhan yang terjadi.
Aksi ini tidak akan terjadi tanpa ada pemicunya, ibarat tak ada asap tanpa api. Gejolak yang terjadi di tengah masyarakat semakin meluas akibat tindakan zalim para penguasa. Kesenjangan sosial dan ekonomi antara rakyat dan penguasa makin tinggi.
Di tengah derita rakyat akibat naiknya PBB dengan persentase di luar akal dan berbagai pungutan pajak yang kian mencekik, para anggota DPR justru bersukacita karena naiknya gaji dan tunjangan dengan nominal yang fantastis.
Tak cukup sampai di situ, derita rakyat seolah tak berujung. Semua aspek kehidupan, seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan, pun tak ada yang menjamin. Rakyat harus banting tulang demi memenuhi kebutuhan hidup. Wajar jika rakyat mulai menuntut penguasa untuk memperhatikan nasib mereka. Bukankah memang itu tugas penguasa?
Sistem Kapitalisme memang tak pernah berpihak pada rakyat kecil. Berbagai kebijakan yang diambil hanyalah demi kepentingan segelintir elite politik. Para pemangku kebijakan berkelindan dengan oligarki dan korporasi untuk melanggengkan hegemoni mereka.
Lalu, di mana posisi rakyat? Ya, mereka tak lebih hanyalah budak para kapitalis. Tujuan pendidikan bukan untuk mencerdaskan, tetapi mempersiapkan mereka menjadi buruh industri.
Salahkah jika rakyat menuntut keadilan? Jelas tidak. Namun, semua pengorbanan ini akan sia-sia jika masih mempertahankan Demokrasi. Bagaimana akan terjadi perubahan, jika sistem rusaknya tidak dicampakkan?
Pandangan Islam tentang Demonstrasi
Istilah demonstrasi tidak berasal dari Islam. Jika yang dimaksud adalah mendakwahkan gagasan-gagasan Islam atau menyampaikan kritik (koreksi), maka Islam mengenalnya sebagai masirah. Di dalam masirah tidak diperbolehkan: merusak kepemilikan umum, berbuat anarkis, ikhtilath, dan lain sebagainya.
Hal ini sebagaimana pernah dicontohkan pada masa Rasulullah saw. setelah turunnya surat Al-Hijr: 94-96 yang menandai tahapan dakwah sembunyi-sembunyi kepada dakwah secara terang-terangan. Uslub (cara) yang digunakan Rasulullah adalah dengan keluar bersama para sahabat dalam dua kelompok yang dipimpin oleh Umar bin Khaththab dan Hamzah bin ‘Abd al-Muththallib.
Penyelesaian Perselisihan antara Penguasa dan Rakyat dalam Islam
Dalam Islam, penguasa bukanlah seseorang yang maha benar dan antikritik. Jika ada perselisihan yang terjadi antara penguasa dan rakyat, maka di sinilah tugas Qadhi Mazhalim untuk menyelesaikannya. Qadhi Mazhalim merupakan bagian dari struktur negara Khilafah, yaitu lembaga peradilan.
Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, Gubernur Kufah, Sa’ad bin Abi Waqash dicopot dari jabatannya setelah menerima pengaduan tentang dirinya. Amirul Mukminin mendengar protes dari rakyat bahwa Sa’ad pernah terlambat datang dalam mengurus pekerjaannya. Ini menunjukkan bahwa kekuasaan dalam Islam bukanlah sekadar jabatan, namun amanah besar yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt.
Campakkan Sistem Rusak
Jika rakyat menuntut perubahan, maka hanya Islam yang mampu mewujudkannya. Bukan hanya solusi pragmatis, namun komprehensif. Tak ada jalan lain kecuali mencampakkan sistem rusak sekularisme Kapitalisme.
Oleh karena itu, upaya mendakwahkan Islam di tengah-tengah umat harus terus dilakukan. Dengan diterapkannya syariat Islam secara kafah dalam kehidupan di bawah naungan Khilafah, maka kesejahteraan dan keadilan bukan lagi hanya mimpi. Wallahualam bissawab. [LM/ry].
