Pajak Disamakan dengan Zakat, Adilkah?

pajaksamazakat-LenSaMedia

Oleh : Arum

Komunitas Setajam Pena

LenSaMediaNews.Com–Beberapa pekan lalu, jagad media ramai membahas pernyataan mantan Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani, yang menyamakan kewajiban membayar pajak dengan zakat dan wakaf.

 

Tujuan pernyataan tersebut tak lain untuk menggenjot penerimaan pajak yang sedang lesu. Dengan demikian, masyarakat didorong untuk lebih patuh dalam membayar pajak demi menjaga kelancaran pemasukan negara.

 

Sudah menjadi rahasia umum bahwa pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Namun karena defisit anggaran terus membesar, pemerintah mencari objek pajak baru seperti pajak warisan, karbon, hingga rumah ketiga.

 

Dikutip dari CNN Indonesia 12 Agustus 2015,  Center of Economic and Law Studies (Celios) bahkan mengusulkan sepuluh jenis pajak baru yang diyakini bisa menghasilkan Rp388,2 triliun. Media Wahyu Askar, Direktur Kebijakan Fiskal Celios, menekankan bahwa pemerintah sebaiknya tidak hanya menyasar wajib pajak yang sudah terdata. Menurutnya, jangan “berburu di kebun binatang.” Usulan ini dipublikasikan agar memicu perdebatan publik.

 

Namun, inilah akibat jika pajak dijadikan tulang punggung ekonomi. Rakyat bukannya sejahtera, malah semakin terbebani. Pada saat yang sama, pemerintah justru menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada swasta, sehingga para kapitalis dan asing lebih diuntungkan. Hal ini merupakan wujud nyata dari kezaliman yang dilakukan oleh para penguasa.

 

Pertanyaannya, mengapa negara tidak lebih serius menarik pajak dari pejabat dan orang-orang kaya yang hartanya melimpah? Sebaliknya, mereka sering memperoleh keringanan, bahkan ada yang sama sekali dibebaskan. Padahal kontribusi dari kalangan ini tentu jauh lebih besar.

 

Tak mengherankan jika semua ini terjadi, sebab negeri ini berlandaskan Sistem Kapitalisme. Kapitalisme menjunjung kebebasan kepemilikan dan pengaturan hidup, namun pada praktiknya justru melahirkan ketidakadilan.

 

Pajak dalam sistem ini cenderung membebani rakyat kecil, sementara kelompok kaya sering lolos dari kewajiban. Sistem buatan manusia ini sarat kekurangan karena hanya berdasar akal dan hawa nafsu, sehingga tidak layak dijadikan pijakan hidup.

 

Berbeda dengan Islam, yang menempatkan pengurusan urusan rakyat (ri‘ayah syu’unil ummah) sebagai hal utama dan menjadikan hukum Allah SWT sebagai aturan. Islam menetapkan secara jelas pembedaan antara zakat, wakaf, dan pajak.

 

Zakat dalam Islam akan dikeluarkan ketika sudah waktunya, yaitu dalam jangka satu tahun kepemilikan, dan memiliki berat yang telah ditentukan syara’. Pengeluaran zakat berdasarkan (objek penerimanya) sudah ditentukan oleh syariat, yaitu hanya 8 asnaf sebagaimana firman Allah SWT. yang artinya,”Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, orang-orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) para hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan (yang memerlukan pertolongan), sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (TQS. At-Taubah:60).

 

Berbeda dengan wakaf, yang merupakan suatu tindakan memberi kepada orang lain sesuai keikhlasannya. Hukumya sunah bukan kewajiban. Pajak dalam Islam, akan dibebankan kepada mereka yang kaya, dan dilakukan ketika kondisi negara darurat saat kehabisan dana untuk fasilitas umum penting.

 

Selain itu, negara yang menerapkan Islam secara kafah akan memiliki cadangan dana melimpah di Baitulmal. Salah satu sumber utama pemasukan itu berasal dari pengelolaan sumber daya alam yang dikelola langsung oleh negara, bukan oleh pihak swasta.

 

Dengan demikian, pemasukan utama negara tidak bertumpu pada pajak yang menzalimi rakyat. Maka, hanya dengan penerapan sistem ekonomi Islam dalam naungan Khilafah, kesejahteraan rakyat dapat terwujud. Wallahu a’lam bishshawab. [LM/ry].