Pemimpin Sejati: Cermin Cinta Allah dan Rasul kepada Umat

Pemimpin dalam Islam

 

Oleh Nadisah Khairiyah

 

 

LensaMediaNews.com, Tsaqofah Aqliyah_ Allah tidak pernah menciptakan manusia lalu membiarkannya sendirian menghadapi hidup. Sebaliknya, Allah selalu melimpahkan rahmat-Nya melalui aturan-aturan yang menuntun kita menuju keselamatan dunia dan akhirat. Perhatikan firman-Nya :

لَقَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

Sungguh telah datang kepada kalian seorang rasul dari kalangan kalian sendiri. Sangat berat terasa olehnya penderitaan kalian, ia sangat menginginkan (keselamatan) bagi kalian; amat belas kasih lagi penyayang terhadap orang-orang beriman.”
(QS At-Taubah [9]: 128)

 

Ayat ini menunjukkan betapa besarnya cinta Allah dan Rasulullah ﷺ kepada kita. Rasul tidak rela umatnya sengsara. Semua syariat yang dibawa beliau sejatinya adalah wujud kasih sayang agar kita tidak tersesat, agar hidup kita penuh berkah, dan agar akhirat kita selamat.

Sayangnya, ketika aturan Allah ditinggalkan, cinta itu tidak lagi kita rasakan dalam kehidupan bernegara. Yang terjadi justru sebaliknya.

 

Pejabat Hidup Mewah, Rakyat Hidup Susah

Saat Al-Qur’an tak menjadi pedoman, maka kita akan mendapatkan realitas yang menyesakkan dada. Kabar kenaikan gaji dan tunjangan anggota DPR hingga ratusan juta rupiah per bulan di tengah rakyat yang makin sulit hidupnya, sungguh mencabik hati. Rakyat diperas dengan pajak, sementara para pejabat asyik bergelimang harta. Tidak hanya DPR, para menteri, wakil menteri, hingga komisaris perusahaan pelat merah menikmati penghasilan miliaran rupiah per tahun.

Bukankah ironis, di saat ibu-ibu harus mengurangi belanja dapur, para penguasa justru menambah isi dompetnya?
Inilah wajah pahit sistem demokrasi yang kita saksikan. Mungkin kita sudah lama terbiasa, tapi jika kita jujur, tidakkah terasa berat di hati melihat jurang antara rakyat dan penguasa?

 

Demokrasi: Jabatan Jadi Bancakan

Fenomena ini sejatinya bukan sekadar soal individu yang rakus, tapi soal sistem. Demokrasi memang mahal. Untuk duduk di kursi kekuasaan, butuh biaya besar. Akibatnya, setelah duduk, mereka sibuk “balik modal”. Caranya? Legalisasi tunjangan superbesar, permainan proyek, hingga korupsi.

Demokrasi sekuler memisahkan agama dari kehidupan, sehingga halal-haram diabaikan. Politik berubah menjadi perebutan kursi dan bancakan kekuasaan. Rakyat hanya dibutuhkan suaranya saat pemilu, selebihnya ditinggalkan dalam derita.
Bukankah ini kebalikan dari cinta Allah dan Rasul-Nya, yang menginginkan keselamatan manusia?

 

Tanda Kehancuran Negeri

Al-Qur’an sudah mengingatkan, gaya hidup bermewah-mewah adalah salah satu sebab kehancuran suatu negeri.
Jika Kami hendak membinasakan suatu negeri maka Kami perintahkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (agar taat). Namun mereka durhaka. Maka sudah sepantasnya berlaku terhadap mereka ketentuan Kami, kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.”
(TQS. Al-Isra’ [17]: 16)

 

Inilah potret negeri hari ini. Para penguasa sibuk dengan kemewahan, sementara rakyat hidup dalam kesempitan. Kita tahu betapa berat ibu-ibu menjaga dapur tetap berasap dengan harga yang terus naik. Padahal Allah tidak pernah menghendaki umat-Nya hidup sesempit ini.

Allah sudah memperingatkan dalam firman-Nya yang artinya:
Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit.”
(QS. Thaha [20]: 124)

 

Kekuasaan adalah Amanah, Bukan Santapan

Dalam pandangan Islam, kekuasaan adalah amanah yang sangat berat. Umar bin Khaththab ra. pernah berkata:
“Aku memosisikan diriku terhadap harta Allah seperti wali anak yatim. Jika aku berkecukupan, aku tak akan mengambilnya. Jika aku membutuhkan, aku ambil sekadarnya.”

 

Demikian pula Umar bin Abdul Aziz menegaskan bahwa kekuasaan bukan santapan untuk dinikmati, tetapi amanah yang akan jadi penyesalan di Hari Kiamat kecuali dijalankan dengan haq.
Bandingkan dengan pejabat demokrasi hari ini, mereka menjadikan jabatan sebagai ladang memperkaya diri, bukan jalan melayani rakyat.

 

Jalan Keselamatan

Semua aturan Allah itu tanda cinta-Nya pada kita. Islam hadir bukan untuk membelenggu, melainkan untuk membebaskan manusia dari kezhaliman manusia.
Allah berjanji dalam Al-Qur’an, yang artinya:
Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi…”
(QS. Al-A’raf [7]: 96)

Maka, jalan satu-satunya adalah kembali kepada syariah-Nya secara kaffah, dalam naungan Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Di sanalah cinta Allah dan Rasul benar-benar kita rasakan: pemimpin yang amanah, hukum yang adil, dan keberkahan yang melimpah.

 

Penutup

Bayangkan seorang pemimpin yang gelisah bila ada satu rakyatnya kelaparan. Pernahkah kita membayangkan negeri di mana harta kekayaannya menjadi sekolah yang layak, rumah sakit yang murah, dan dapur yang selalu berasap bagi setiap keluarga? Itulah wajah cinta Allah dan Rasul-Nya, nyata dalam kehidupan ketika Islam ditegakkan.

 

Allah dan Rasul-Nya begitu cinta kepada kita. Maka jangan biarkan cinta itu kita abaikan. Mari kita buktikan cinta kita dengan menaati aturan-Nya. Karena hanya dengan itulah kita selamat, di dunia maupun akhirat.

و الله اعلم بالصواب