Pertumbuhan Ekonomi, Distorsi Sistem Penuh Ilusi

Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor
LenSaMediaNews.Com–Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II tahun 2025 diklaim naik 5,12 persen (yoy). Data tersebut dirilis BPS (Badan Pusat Statistik). Pada kuartal I tahun 2025, pertumbuhan ekonomi tercatat 4,87 persen.
Angka ini dilaporkan telah melebihi prediksi lembaga keuangan global seperti IMF dan World Bank, Bank Indonesia, INDEF, LPEM FEB UI. Lembaga-lembaga tersebut memperkirakan kenaikan pertumbuhan ekonomi berada pada kisaran 4 – 5,1 persen (inilah.com, 7-8-2025).
Penilaian Data Ekonomi, Sekadar Pencitraan
Bukannya menyemikan harapan. Data BPS terkait pertumbuhan ekonomi ini justru memicu gelombang skeptisme, gelombang tidak percaya atas segala bentuk data yang tersaji karena tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
Fakta di lapang menunjukkan kontraksi ekonomi yang berlebih, bukan keadaan baik seperti yang diklaim pemerintah. Perindustrian manufaktur tengah kembang kempis mempertahankan eksistensi di tengah maraknya gempuran impor.
Tidak hanya itu, gelombang PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) terjadi di berbagai sektor industri, dan nilai investasi menurun. Sebetulnya data lapangan menunjukkan kenaikan yang cukup atas konsumsi rumah tangga. Namun sayang, kenaikan ini hanya dialami pada masyarakat kelas ekonomi menengah ke atas. Sementara ekonomi bawah, tetap berkelit dengan berbagai himpitan.
Menyoal data kenaikan pertumbuhan ekonomi, pakar ekonomi sekaligus pengamat kebijakan publik dari UPN Jakarta, Achmad Nur Hidayat mempertanyakan metode perolehan data tersebut. Mungkin iya, metodologi penghitungan data BPS ini sudah sering digunakan beberapa dekade lalu.
Namun, metodologi yang digunakan tersebut belum bisa dipastikan tingkat relevansinya. Sehingga mengaburkan hasil dan menimbulkan skeptisme publik. Karena fakta di lapang berbicara lain. Ekonomi kita sedang tidak baik-baik saja. Fakta kemiskinan yang terjadi berbanding terbalik dengan data yang tersaji.
Kemiskinan pada hakikatnya lahir dari buruknya tata kelola negara terhadap sumber daya milik rakyat serta kebijakan yang tidak berpihak sepenuhnya pada kepentingan mereka. Sistem yang berlaku saat ini lebih memihak pemilik modal dan penguasa.
Kebijakan publik difokuskan demi keuntungan segelintir pihak, pengelolaan kekayaan alam diserahkan kepada asing dan swasta untuk meraup laba sebesar-besarnya. Konsep ini berujung pada legalisasi dan privatisasi sumber daya publik.
Wajar saja, rakyat semakin kesulitan memenuhi kebutuhan pokok, harga pangan dan layanan publik pun melambung tinggi. Kondisi ini mencerminkan rusaknya tatanan ala Sistem kapitalisme yang berpijak pada sekularisme liberal. Pemimpin yang lahir dari sistem ini cenderung mengedepankan pencitraan ketimbang pelayanan rakyat.
Kapitalisme terbukti gagal mensejahterakan rakyat. Sistem ini hanya mengejar keuntungan materi, sehingga kebijakan selalu diarahkan untuk kepentingan elite dan citra politik. Padahal, faktanya negara tidak mampu hadir secara adil sebagai pengurus rakyat.
Tata Kelola dalam Islam
Islam menetapkan tata kelola bijaksana yang menjadikan negara sebagai satu-satunya institusi pelayan rakyat. Sistem Islam yang adil hanya dapat ditegakkan melalui institusi Khilafah ala manhaj Nubuwwah.
Khilafah menjalankan setiap tanggung jawabnya dan menetapkan kondisi kesejahteraan diukur per individu, bukan sekadar angka rata-rata seperti yang diterapkan dalam sistem kapitalisme. Rasulullah SAW. bersabda: “Imam (khalifah) adalah pemelihara dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Pemimpin dalam Islam wajib menjamin kebutuhan rakyat melalui kebijakan yang bersandar pada syariat, termasuk pengelolaan kekayaan alam secara optimal. Khilafah memiliki langkah yang jelas dan mekanisme efektif untuk mengatasi kemiskinan secara sistematis. Bukan sekadar mengotak-atik data statistik.
Islam telah menyiapkan strategi komprehensif, yakni menjamin standar hidup layak bagi setiap individu sesuai hukum syarak. Negara wajib menyediakan lapangan kerja bagi setiap kepala keluarga, sementara rakyat yang tidak mampu bekerja mendapat jaminan hidup melalui bantuan sosial sesuai kebijakan yang ditetapkan khilafah. Pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dijamin murah bahkan gratis, namun tetap berkualitas.
Islam juga mengatur kepemilikan secara jelas, yaitu kepemilikan pribadi, umum, dan negara. Sumber daya alam dikelola demi kemaslahatan umat, bukan untuk kepentingan bisnis oligarki.
Distribusi kekayaan dilakukan secara adil melalui Baitulmaal, yang sumber dananya berasal dari hasil pengelolaan sumberdaya alam, ghanimah, fa’i, kharaj, jizyah, dan pos lain yang ditetapkan syarak.
Dengan penerapan sistem Islam yang menyeluruh, kemiskinan ekstrem dapat diatasi dengan bijak. Islam tidak menyajikan ilusi. Namun, Islam memberikan harapan pasti. Wallahu a’lam bissawwab. [LM/ry].