Sahabat Surgaku (Bagian 2)

Oleh M. Mush’ab Jundullah
(Kelas 7 IBS Al-Amri)
LensaMediaNews.com, Cerpen_ Di tenda aku dan Syaid melihat bintang-gemintang. Setelah itu, aku melihat Syaid sedang menulis.
“Syaid kamu nulis apa?”
“Eh, rahasia,” kata Syaid sambil menyembunyikan kertasnya.
“Ya sudah aku tidur dulu,” kataku sambil menguap dan meninggalkannya sendiri.
Di tengah malam aku terbangun karena suara yang sangat riuh. Aku melihat banyak orang di sekitarku. Aku melihat ada seseorang yang membawa Syaid pergi. Lantas, aku pun berdiri dan berlari menujunya. Ketika aku melihat Syaid sekarat. Aku terduduk dan meneteskan air mata. Syaid tertembak.
“I…dul, i…ini.” Syaid berkata patah-patah dan memberiku secarik kertas, lalu terkulai dengan senyum yang sangat menawan.
“Innalillahi wa innailaihi roojiuun,” ucapku lirih. Aku telah kehilangan sahabat terbaikku.
“Sabar ya, Abdul. Tengah malam tadi ada teror dan kamu tidak bangun-bangun. Dia melindunggimu dan…,” kata paman Sa’ad terputus.
Aku menoleh ke arah paman Sa’ad dengan muka basah oleh tangisan.
“Dia tertembak oleh pasukan Zionis,” kata paman Sa’ad pelan.
Aku tertunduk. Abdul dan teman-temanku menenangkanku.
2 tahun kemudian
Sahabat sejati
Sahabat abadi
Tak terhalang mati
Dilanjutkan di surga nanti
Maaf jika pernah salah
Maaf jika pernah marah
Tetap semangat bagai air bah
Menghapus kaum yang salah
Bebaskan tanah Palestina
Tanah kelahiran kita
Sekali lagi kubaca puisi pemberian Syaid. Puisi itu terputus karena terobek. Entah siapa yang membawa robekannya.
Kini aku berada di markas Syaifullah hendak membuat rencana penyerangan ke Zionis. Aku ingin mewujudkan cita-cita puisi itu. Aku melihat paman Sa’ad bersama seorang pria paruh baya, wajahnya agak putih, dan tinggi besar seperti paman Sa’ad.
“Idul, ini ada seniormu yang akan membimbing kamu,” ucap paman Sa’ad.
“Assalamu’alaikum, perkenalkan namaku Roy. Panggil saja, Paman Roy.”
“Wa’alaikumussalam, namaku Idul,” jawabku dengan menjabat tangan paman Roy.
“Oke, ayo sekarang kita masuk, sudah mau mulai,” kata Paman Sa’ad berjalan lebih dulu, lalu diiringi aku dan paman roy memasuki ruang rapat.
“Booommm!”
Saat kami selesai rapat aku mendengar suara dentuman tank. Tidak mau kalah pasukan Syaifullah yang berjaga langsung meluncurkan rudal anti tank.
“Blaaarrr,” suara tank meletus terkena rudal.
Aku bergegas memasuki arena pertempuran dan melepas dua tembakan. Dua tentara Zionis terkapar. Mereka tidak tinggal diam, terus menembak secara membabi buta. Aku segera berlindung di reruntuhan gedung.
Pasukan penjajah terlalu banyak, kami kalah jumlah. Demi Allah, kami, Syaifullah tidak akan menyerah karena itu. Kami terus melakukan serangan.
Paman Roy menembak dengan bazoka, 5,10,7, sedikit demi sedikit tentara musuh bertumbangan.
“Awas!” Aku berlari menghindar dan berseru. Di atas sana sebuah pesawat militer meliuk dan menjatuhkan bom.
Menyedihkan, separuh pasukan Syaifullah terkapar, pasukan Zionis habis tak tersisa
Aku bangun dari persembunyian dan bertakbir, “Allahuakbar!” Kami menang sesaat.
Pasukan musuh belum kalah karena mereka membawa bala bantuan. Tembakan demi tembakan susul-menyusul dari tank Zionis.
Paman Roy menarik tubuhku ke balik gedung. Dua tembakan tank meleset sepersekian detik
“Hampir saja kena. Terima kasih Paman Roy!”
Paman Roy mengangguk lantas menembakkan bazokanya ke salah satu moncong tank.
Paman Sa’ad telah meluncurkan rudal anti tank dan membuat kepulan debu berterbangan. Aku langung maju ke salah satu tank. Aku membuka pintunya dan menembak tiga orang tentara musuh. Aku pun beranjak memindahkan salah satu pengemudi lantas duduk di bangku pengemudi tadi. Sembari mengucap basmalah dan takbir aku melepas tembakan ke tank terakhir.
Mereka tidak sempat menyadari apa yang terjadi. Mereka telah tumbang.
Aku keluar dari tank berseru dengan semangat, “Allahuakbar!”
Tiba-tiba aku di dorong paman Roy dari atas tank. Sebuah peluru menembak ke arah kami dan mengenai perut paman Roy. Tak berselang lama tubuh penembak itu tumbang ditembak oleh salah satu teman pejuangku.
Aku sempat termangu melihat paman Roy. Kemudian, aku segera melompat menangkap tubuh paman Roy.
Di depan ruangan IGD salah satu rumah sakit di Gaza aku gelisah menunggu kabar paman Roy.
Sesaat kemudian, aku dipangil dokter yang merawat paman Roy, “Pak Idul, silakan masuk dipanggil pak Roy.”
“Idul kemarilah,” pinta paman Roy sambil terbatuk.
Aku melangkah dan melihat paman Roy. Kondisinya buruk. Belalai-belalai medis sambung-menyambung melilit tubuhnya.
“Pertama, maafkan aku Idul, akulah yang menembak temanmu, Syaid.”
Mulutku kaku mendengar pengakuan paman Roy.
“Aku orang Amerika ayahku adalah tentara. Saat aku berumur dua puluh tahun, aku diajak ke Israel. Aku diajak magang menjadi tentara bantuan bagi Israel. Aku ingat, malam itu aku disuruh beraksi bersama tentara ayahku. Malam telahlarut, kami melihat banyak orang berkumpul berbincang-bincang. Tiba-tiba, salah satu tentara menembaki orang-orang tersebut dan perang kecil itu dimulai.”
Paman Roy terbatuk satu dua kali.
“Aku diajak menembak, aku pun menuruti mereka. Saat pluru melesat, reflek aku tutup mata dan kupikir tembakanku meleset. Ternyata mengenai temanmu. Lalu, aku merasa bersalah menembak orang yang tidak bersalah. Paginya aku pergi ke tempat kejadian dan menemukan kertas ini.”
Paman Roy menjulurkan potongan puisi yang kucari-cari.
“Entah kenapa setelah membaca puisi temanmu hidayah itu datang. Aku pun bertobat kepada Allah. Sekali lagi aku minta maaf telah menembak temanmu, Idul!” Paman Roy terbatuk dan terkulai.
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Emosiku masih campur aduk antara sedih, marah, kecewa, dan berbagai rasa lain yang sulit kudefinisikan.
Kugenggam erat dengan tatapan nanar robekan puisi yang telah mengantar hidayah itu.
Bebaskan tanah Palestina
Kiblat pertama yang merana
Hapuskan Israel yang hina
Kaum durjana
Dengan semangat perkasa
Tak henti walau sehasta
Ayo rakyat dunia
Kita bebaskan warga Palestina
TAMAT