Ambil Alih Tanah Telantar, Sudahkah Hak Rakyat Terbayar?

Ambil alih tanah_20250801_192100_0000

Oleh: Atika Ma’rifatuz Zuhro

(Muslimah Peduli Generasi)

 

Lensa Media News – Tanah merupakan salah satu sumber yang Allah ciptakan untuk kelangsungan hidup manusia. Allah membekali manusia dengan akal demi menjalankan perannya sebagai pengelolanya. Sehingga tanah dapat diusahakan, dimanfaatkan, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran. Namun sayangnya, saat ini tanah yang telah dikuasai dan dimiliki oleh seseorang, baik yang sudah ada hak atas tanahnya maupun yang berdasar perolehan tanah di beberapa tempat masih banyak dalam keadaan terlantar. Pemerintah pun berencana untuk mengambil alih tanah telantar jika pada waktu tertentu tidak dikelola oleh pemiliknya.

Sebagaimana yang diutarakan oleh Kepala Biro Humas dan Protokol Kementerian ATR/BPN Harison Mocodompis, bahwa tanah yang telah melalui proses verifikasi, namun tidak diberdayakan oleh pemiliknya selama 2 tahun akan ditetapkan sebagai tanah telantar. Negara kemudian akan mengalihfungsikan lahan tersebut sebagai bagian dari upaya pemerintah mengurangi ketimpangan penguasaan lahan. (Cnbcindonesia.com, 30/07/25).

Termasuk dalam objek tanah telantar, seperti tanah yang terakreditasi sesuai dengan hukum Pertahanan di Indonesia seperti tanah yang memiliki Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB) lahan yang biasa dikelola di bidang pembangunan, toko, dan pusat pembelanjaan, Hak Guna Usaha (HGU) lahan yang biasa dikelola di bidang perkebunan, Hak Pengelolalaan (HPL), Hak Pakai. Dengan demikian jangka waktu tanah telantar dalam hak milik ialah jika tidak dikelola, dimanfaatkan atau dipelihara selama 20 tahun. Sedangkan HGB dan HGU sejak 2 tahun setelah diterbitkan hak.

Adapun yang jadi pengecualian dari objek yang akan diterbitkan sebagai tanah telantar ialah tanah hak pengelolaan masyarakat hukum adat dan tanah pengelolaan yang menjadi aset bank. Nushron juga menyampaikan ada beberapa tahapan pengambilalihan lahan, mulai dari peringatan sampai pengambilalihan yang akan dilakukan dalam 587 hari. (CNNIndonesia.com, 14/7/2025)

Berbagai kritikan pun dilontarkan oleh sejumlah pihak. Dalam peraturan baru ini tidaklah pengambilalihan lahan akan dikelola negara untuk dijadikan sebagai pengelolaan umum. Melainkan negara bertindak sebagai fasilitator kepentingan pemodal, bukan menjadi pelindung hak rakyat. Penarikan tanah telantar bisa menjadi salah satu celah pemanfaatan tanah untuk kepentingan oligarki semata. Rakyat hanya bisa gigit jari, tak dapat kompensasi.

Sungguh mirisnya keadaan negeri ini, hak rakyat tergadaikan. Sedangkan pengusaha kembali mendapatkan jalan kemudahan. Bahkan di saat yang bersamaan, tanah milik negara yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat malah dibiarkan terbengkalai tanpa adanya rencana yang jelas dalam pengelolaan lahan tersebut. Jika terus dibiarkan hal ini dapat menimbulkan penyalahgunaan pengelolaan yang salah sasaran.

Sayangnya, di dalam sistem kapitalisme bahwa tanah dijadikan alat komoditas, bukan sebagai amanah yang dikelola untuk seluruh rakyat. Sistem ini menjadikan semua hal, termasuk tanah, tunduk pada kepentingan bisnis dan investor. Faktanya tanah yang termasuk dalam skema HGU dan HGB lebih banyak dikuasai oleh korporasi besar, sementara rakyat yang tidak mampu kesulitan memiliki lahan untuk tempat tinggal, bertani, maupun berdagang. Pengelolaan tanah selalu dikaitkan dengan ketersediaan anggaran, seolah kepemilikan tanah hanya bermanfaat jika menguntungkan secara finansial. Padahal, tanah adalah sumber kehidupan.

Islam sudah memberikan solusi terkait lahan yang tidak dapat dikelola dikarenakan ketidak mampuan pemegang hak atau dalam kasus lain. Islam sebagai ideologi yang adil dan sangat mengutamakan kesejahteraan mengatur kebijakan bahwa tanah yang menjadi kepemilikan umum merujuk pada lahan yang diperuntukkan bagi kemaslahatan umat dan tidak boleh dimiliki secara menyeluruh oleh individu atau kelompok tertentu.

Di dalam sistem Khilafah, tanah dibagi menjadi 3 jenis kepemilikan. Di antaranya, kepemilikan individu yaitu tanah yang secara sah dimiliki individu, dan tanah tersebut dapat diwariskan. Selanjutnya, kepemilikan umum merupakan tanah yang dimanfaatkan untuk kepentingan umum bagi umat. Kemudian kepemilikan negara yaitu tanah yang dikelola pemerintah untuk kemaslahatan umat. Negara akan mengelola tanah milik negara untuk kepentingan umat, membuat proyek strategis untuk kebutuhan umat, seperti pemukiman, pertanian, dan infrastruktur umum, yang bertujuan untuk kesejahteraan rakyat.

Khilafah tidak serta merta menjual tanah negara kepada swasta untuk dikuasai secara bebas.

“Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud).

Hadits ini menunjukkan bahwa ada harta yang tidak boleh dikuasai oleh individu, melainkan harus dikelola untuk kepentingan umum.

Islam memiliki hukum ketentuan yang rinci dalam mengatur hak setiap individu, dan mengatur tata cara pengelolaan tanah termasuk di dalamnya tanah telantar dan tanah mati. Sekalipun pemerintah berwenang dalam mengatur struktur negara, tetapi jika menyalahi aturan yang telah ada pada syariat, maka itu tidak dapat dijadikan sebagai sebaik baik solusi. Wallahu a’lam bishshawab.

 

[LM/nr]