Kekerasan Pelajar: Bukti Gagalnya Pendidikan Sekuler

Remaja-LenSaMediaNews

Oleh :Via Khaidir

 

LenSaMediaNews.Com–Masyarakat Indonesia kembali terguncang oleh kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah. Pada Jumat, 7 November 2025, sejumlah ledakan mengguncang area masjid SMAN 72 Jakarta,  saat pelaksanaan salat Jumat.

 

Ledakan ini menyebabkan puluhan siswa mengalami luka² dan di larikan kerumah sakit. Polisi mengamankan pelakunya seorang siswa bberusia 17 tahun. Dari hasil penyelidikan,  motif pelaku karena sering mendapat perundungan dari teman-temannya (kumparannews, 7-11-2025).

 

Hal serupa juga terjadi di Aceh Besar. Pada dini hari Jumat, 30 Oktober 2025, asrama putra di Pesantren Babul Maghfirah dibakar oleh seorang santri, yang mengaku karena tidak lagi sanggup menahan luka batin akibat perundungan (bullying) yang dialaminya. Kebakaran tersebut menghanguskan sebagian bangunan asrama sebelum berhasil dipadamkan ( beritasatu.com, 8-11-2025).

 

Rangkaian kasus perundungan yang bermunculan di berbagai daerah menunjukkan dengan jelas bahwa bullying bukan lagi masalah satu sekolah, tetapi telah berubah menjadi persoalan sistemik dalam dunia pendidikan kita.

 

Sistem pendidikan sekuler-kapitalistik yang materialistik terbukti gagal melahirkan manusia yang berkepribadian mulia dan beradab. Fokus pendidikan yang berlebihan pada prestasi serta nilai akademis membuat aspek spiritual dan moral terabaikan, menciptakan generasi yang mungkin unggul secara kognitif namun rapuh secara emosional dan etis.

 

Media sosial turut memperburuk keadaan. Alih-alih menjadi ruang berbagi pengetahuan, platform digital justru sering menebarkan pengaruh buruk dengan menormalisasi kekerasan, ejekan, dan penghinaan, seolah-olah tindakan tersebut merupakan sesuatu yang wajar. Paparan semacam ini akhirnya membentuk persepsi remaja bahwa merendahkan orang lain adalah bagian yang biasa dari interaksi sosial.

 

Lebih mengkhawatirkan lagi, media sosial kini bahkan menjadi rujukan bagi korban bullying untuk meluapkan kemarahan melalui tindakan yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Fenomena ini mengungkap betapa rentannya remaja ketika ruang digital dibiarkan membentuk cara mereka merespons tekanan tanpa pendampingan dan pendidikan akhlak yang memadai.

 

Tanpa pembinaan moral yang kuat dan serius, sekolah kehilangan perannya sebagai ruang aman dan anak-anak kehilangan pegangan dalam menghadapi luka batin serta tekanan sosial.

 

Dalam pandangan Islam, persoalan ini tidak sekadar muncul akibat perilaku individu, tetapi juga karena kerusakan konstruksi pendidikan yang mendasar. Tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk kepribadian Islam secara utuh.

 

Proses pendidikan harus dilakukan melalui pembinaan intensif yang membentuk pola pikir dan pola sikap islami, tidak hanya berfokus pada nilai materi, tetapi juga menanamkan nilai maknawi dan nilai ruhiyah. Karena itu, kurikulum wajib berbasis akidah Islam dan menjadikan adab sebagai fondasi utama pendidikan.

 

Negara Khilafah pun berkewajiban menjadi penjamin utama penyelenggaraan pendidikan, pembinaan moral umat, serta perlindungan generasi dari berbagai bentuk kezaliman sosial. Tanpa adanya peran negara yang kuat dalam menjaga akhlak publik dan mengarahkan pendidikan sesuai tuntunan Islam, maka berbagai problem sosial termasuk maraknya bullying, akan terus muncul dan memakan korban.

 

Dengan demikian, jalan keluar terhadap krisis ini tidak cukup hanya dengan memperbaiki teknis pengajaran atau memperketat aturan sekolah. Diperlukan perubahan konstruksi pendidikan secara menyeluruh sesuai dengan prinsip Islam, agar lahir generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga beradab, berakhlak mulia, dan mampu hidup dalam harmoni sosial. Wallahualam bissawab. [LM/ry].