Taat: Perjuangan dan Pengorbanan yang Lahir dari Cinta

Oleh Nadisah Khairiyah
LensaMediaNews.com,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيهِمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
(QS. Al-Mumtahana : 6)
Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan keluarganya) ada teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) Hari Kemudian. Dan barangsiapa yang berpaling, maka sesungguhnya Allah Dialah yang Maha kaya lagi Maha Terpuji.
Ayat ini menceritakan kepada kita tentang keteladanan ketaatan dari Khalilullaah, Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam, dan keluarganya. Sebuah kisah yang bukan hanya tentang kepatuhan, tapi tentang perjalanan spiritual yang mendalam. Dalam ayat ini, Allah ﷻ menunjukkan kepada kita bahwa ketaatan bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba, tetapi melalui proses panjang yang dilandasi keyakinan dan cinta kepada-Nya.
Kita diberikan gambaran bagaimana perjuangan Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam dimulai dari kesendiriannya dalam menyadarkan umatnya, bahkan ayahnya sendiri, untuk kembali kepada tauhid. Proses pencarian beliau tentang siapa Tuhan yang sejati sebagaimana termaktub dalam QS Al-An’am: 75–79 menjadi dasar dari ketaatan yang kokoh. Proses ini mencerminkan bahwa keimanan yang sejati adalah hasil dari perenungan dan pencarian, bukan sekadar warisan atau kebiasaan.
Dari sinilah kita memahami bahwa ketaatan yang kokoh lahir dari pemahaman yang dalam. Ia tidak cukup hanya berdasarkan pengetahuan, tetapi tumbuh dari tafakkur (berpikir mendalam) dan ta’amul (merenungi kehidupan). Hasil dari proses ini bukan sekadar kepatuhan, tetapi keyakinan yang mengakar dalam hati. Dan keyakinan inilah yang menumbuhkan emosi positif cinta, syukur, harap, dan takut yang sehat yang menjadi bahan bakar ketaatan sejati.
Sebagaimana seseorang yang benar-benar mencintai, ia tidak ragu untuk berkorban. Ia tidak menghitung-hitung apa yang ia dapat, melainkan fokus pada apa yang ia bisa persembahkan. Inilah dasar dari taat yang berakar dari cinta (mahabbah). Ketika rasa takut kepada Allah muncul, bukan karena Allah menakutkan, tapi karena takut kehilangan kasih sayang dan bimbingan-Nya. Dan ketika harap tumbuh, ia menjadi cahaya yang menuntun, bahwa setiap amal dan pengorbanan akan berbuah di sisi-Nya.
Ketaatan juga tumbuh dari makna hidup. Saat seseorang menemukan alasan mengapa ia diciptakan, untuk apa ia hidup, dan ke mana akhirnya ia kembali — maka ia akan menjalani ketaatan bukan sebagai beban, tetapi sebagai jawaban atas panggilan jiwanya. Makna hidup yang jelas menjadikan ujian terasa layak, dan pengorbanan terasa mulia. Inilah yang menjadi kekuatan keluarga Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam. Mereka tidak hanya patuh karena takut, tapi karena mereka tahu: hidup ini adalah untuk menjalankan amanah dari Allah ﷻ. Hidup mereka punya tujuan bukan sekadar bertahan, tapi menjadi bagian dari rencana besar Allah di bumi. Maka ketika perintah datang, seberat apa pun, mereka menjalaninya, karena mereka tahu: inilah jalan untuk menjadikan hidup mereka berarti di sisi-Nya.
Contoh nyata adalah ketika Allah ﷻ memerintahkan Nabi Ibrahim untuk meninggalkan keluarganya di tempat yang gersang. Hajar, sang istri, tidak langsung tenang ia bertanya dan terus bertanya. Tapi ketika mendengar bahwa perintah itu datang dari Allah ﷻ, ia menjawab dengan tenang dan penuh yakin: “Kalau begitu, Dia tidak akan menyia-nyiakan kami.” Keyakinan inilah yang menghidupkan hati dan menyalakan semangat untuk bertahan dalam ujian terberat.
Ketika Nabi Ibrahim memanjatkan doa di lembah Mekkah yang tandus, doanya bukan sekadar permintaan fisik, tetapi penuh muatan spiritual agar keturunannya tetap mendirikan shalat, agar hati manusia tertarik kepada mereka, dan agar mereka bersyukur. Ini adalah bentuk ketaatan yang menyatu dengan misi kehidupan.
Puncak dari semua ini adalah ketika Allah ﷻ memerintahkan penyembelihan Ismail ‘alaihissalaam. Momen ini menunjukkan bahwa cinta kepada Allah ﷻ benar-benar melampaui segalanya bahkan cinta kepada anak sendiri. Dan justru karena ketaatan yang total inilah, Allah balas dengan penghormatan yang luar biasa. “Sungguh ini benar-benar ujian yang nyata,” demikian firman-Nya.
Keteladanan keluarga Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam menjadi bukti bahwa ketaatan bisa dibentuk. Mereka tidak sekadar taat karena mereka nabi, tetapi karena mereka menjalani proses berpikir, meresapi makna kehidupan, dan menumbuhkan keyakinan hingga melahirkan energi luar biasa untuk menjalankan perintah-perintah Allah ﷻ, seberat apa pun itu.
Hal ini ditegaskan dalam sabda Rasulullah ﷺ:
“Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi…”
(HR. Bukhari & Muslim)
Hadits ini menjadi penekanan bahwa manusia tidak dilahirkan dalam keadaan durhaka. Ketidaktaatan adalah hasil dari proses cara berpikir yang salah dan pengabaian terhadap makna hidup. Maka jika ketidaktaatan bisa dibentuk, begitu pula ketaatan bisa ditanamkan.
Taat bukanlah sekadar soal patuh pada aturan. Ia adalah hasil dari pemahaman, perenungan, cinta, dan harapan. Ketaatan bukan untuk mengurung kita, tapi membebaskan kita dari ego, dari kesia-siaan, dari hidup tanpa arah. Nabi Ibrahim dan keluarganya telah menunjukkan bahwa seberat apa pun perintah Allah, jika dilandasi cinta dan makna hidup, maka manusia bisa melaksanakannya dengan ikhlas.
Kini, giliran kita untuk bertanya dalam hati:
Sudahkah aku berproses untuk taat? Atau aku masih mematuhi tanpa mengerti, mengikuti tanpa memahami?
Karena ketaatan sejati bukan tentang seberapa sering kita melakukannya, tapi seberapa dalam kita memaknainya.
و الله اعلم بالصواب