Menyongsong Kemerdekaan Muslim Sejati

Oleh Nining Sarimanah
Aktivis Muslimah
LensaMediaNews.com, Reportase_ Menjelang hari kemerdekaan yang ke-80, masyarakat mulai memasang bendera merah putih. Selain itu, masyarakat merayakannya dengan euforia baik di kota maupun di desa dengan berbagai acara mulai dari upacara hingga beragam perlombaan.
Terlepas dari penjajahan secara fisik dari Portugis, Belanda, dan Jepang memang patut disyukuri karena tanpa pertolongan Allah Swt. serta pengorbanan darah dan jiwa dari para pejuang, dipastikan negeri ini masih terjajah, sebagaimana yang terjadi di Palestina oleh Zionis Israhel.
Namun, yang seharusnya direnungkan adalah benarkah bangsa Indonesia sudah merdeka secara hakiki? Persoalan inilah yang diangkat di kajian bulanan Majelis Taklim Nurul Qur’an (MTNQ) dengan tema “Menyongsong Kemerdekaan Muslim Sejati” yang dilaksanakan di Masjid Al-Islam di Cijerah, Kota Cimahi.
Pembicara pertama, Bu Nining menyampaikan bahwa meski negeri ini terbebas dari penjajahan secara fisik tetapi hakikatnya negeri ini belum merdeka seutuhnya. Hal ini merujuk pada makna merdeka dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) bahwa merdeka itu bebas dari penjajahan atau penghambaan. Sementara merdeka dalam Islam maknanya pembebasan dari penghambaan pada manusia menuju pada penghambaan Tuhannya manusia yaitu Allah Swt.
Melepaskan diri dari belenggu penjajahan fisik memang tak mudah, namun dengan dorongan misi Islam yaitu melepaskan belenggu penghambaan pada manusia dan hanya tunduk pada pencipta manusia, itu menjadi pemantik semangat juang dan mengobarkan perlawanan terhadap musuh.
Maka dari makna di atas, jelaslah Indonesia masih terjajah secara non-fisik melalui berbagai bentuk perjanjian dengan negara Barat dan Timur. Sayangnya, kita tidak menyadari bahwa itu bentuk penjajahan gaya modern. Melalui investasi kekayaan alam “dijarah” seperti tambang emas di Irian Jaya dan Raja Ampat dengan nikelnya yang berdampak pada kerusakan ekosistem sehingga menyebabkan banjir dan longsor.
Tak hanya itu, Barat pun menyebarkan pemikiran sesat salah satunya ide kebebasan berperilaku yang menyebabkan generasi muda melakukan sex bebas, LG87, dan lainnya. Tidak hanya itu, masyarakat dirugikan dengan beras oplosan, berbagai pungutan pajak, dsb.
Materi dilanjutkan oleh Bu Yuli. Beliau memaparkan bahwa kondisi yang dialami negeri ini merupakan buah dari diterapkannya sistem sekuler kapitalisme. Sistem ini menjauhkan agama dari kehidupan. Agama sebatas urusan pribadi yang tidak boleh dibawa dalam urusan masyarakat dan negara.
Di sisi lain, kapitalisme melahirkan penguasa yang tidak pro rakyat. Banyak kebijakan yang ditetapkan justru merugikan masyarakat seperti UUD Cipta Kerja, UU kesehatan tentang BPJS, pendidikan, dan sebagainya.
Karena itu, agar bangsa Indonesia terlepas dari penjajahan non-fisik dengan memahami Islam sebagai pandangan hidup. Maknanya, Islam tidak sekadar mengatur urusan ibadah, tetapi mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Dengan menjadikan syariat Islam sebagai aturan hidup, maka kaum muslim telah merdeka.
Dengan Islam pula, lahirlah sosok pemimpin yang peduli terhadap urusan rakyatnya. Penguasa dalam Islam akan senantiasa me-riayah masyarakat dengan penuh tanggung jawab.
Pemimpin negara bukan simbol kekuasaan semata, tetapi ia penanggung jawab utama kesejahteraan dan keselamatan atas rakyatnya. Sebab itulah, jika penguasa tidak menjalankan amanah kepemimpinannya maka hakikatnya ia telah berkhianat.
Rasulullah saw. bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Seorang imam (pemimpin negara) adalah ra’in (penggembala/pengurus) dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Wallahu ‘alam bishshawab