Mendukung Evakuasi Rakyat Gaza, Kemuliaan Moral?

Oleh : Ummu Rifazi, M.Si
LenSaMediaNews.Com, Opini–Menjelang lawatannya ke sejumlah negara di Timur Tengah pada Rabu 09-04-2025, Presiden Prabowo menyatakan Indonesia siap menampung evakuasi ribuan warga Gaza Palestina korban kekejaman agresi brutal militer Israel. Beliau beralasan hal tersebut merupakan tanggung jawab moral dan politik karena banyaknya permintaan agar Indonesia lebih berperan aktif mendukung penyelesaian konflik di Gaza.
Beliau mengatakan gelombang pertama rakyat Gaza yang akan dijemput ke Indonesia dengan pesawat adalah sekitar 1000 orang. Beliau berusaha meyakinkan banyak pihak bahwa evakuasi tersebut bersifat sementara. Setelah situasi di Gaza memungkinkan maka mereka akan dipulangkan kembali (beritasatu.com, 09-04-2025).
Rencana Relokasi Rakyat Gaza Gagasan Siapa?
Sejatinya pemimpin Indonesia ini harus ingat bahwa gagasan awal rencana relokasi warga Gaza datang dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Melalui utusannya untuk Timur Tengah, Steve Wifkoff. Dalam pernyataan resmi kepada NBC pada Minggu (19-01-2025) Trump beralasan bahwa wilayah Gaza sudah tidak layak huni karena tidak aman dari peperangan sehingga warganya perlu dipindahkan ke wilayah lain secara permanen agar mereka bisa berbahagia.
Untuk mewujudkan rencananya, Pemerintah AS selanjutnya meminta agar ada negara lain yang bersedia menampung penduduk Gaza, dan Indonesia menjadi negara yang diajukan untuk mewujudkan rencana tersebut. Sekitar dua juta warga Gaza akan direlokasi ke Indonesia sebagai upaya Pemerintah AS untuk mempertahankan gencatan senjata Israel-Hamas (jpost.com, 20-01-2025).
Gagasan tersebut kontan mendapatkan kecaman dan penolakan keras secara Internasional. Dan faktanya rencana batil tersebut sebenarnya ambisi jahat yang sudah direncanakan sejak lama. Sejak pertama kali Trump menjadi Presiden AS periode 2017-2021, dia terang-terangan mendukung agar Yerusalem menjadi ibukota negara Yahudi. Sebagai langkah nyata dukungannya, pemerintah AS memotong semua pendanaan untuk badan pengungsi Palestina PBB, UNRWA pada 2018 agar bisa memberikan tekanan yang lebih besar lagi terhadap penduduk Palestina.
Selanjutnya pada 2019, Trump merubah kebijakan AS selama puluhan tahun dengan mengatakan bahwa Dataran Tinggi Golan yang diduduki adalah wilayah Israel. Dengan pongahnya, lewat Menteri Luar Negeri Mike Pompeo, Pemerintah AS menyatakan bahwa pendirian permukiman sipil Israel di Tepi Barat tidak bertentangan dengan hukum internasional (muslimahnews.net, 15-02-2025).
Dari semua fakta tersebut sebenarnya sudah sangat jelas bahwa kaum kafir adalah penjajah abadi kaum muslimin. Mereka tidak akan pernah berhenti menindas kaum muslimin dengan berbagai upaya. Wilayah Gaza adalah tanah milik warga Palestina dan sudah semestinya mereka tetap tinggal di Gaza. Berbagai alasan yang dinyatakan seolah sebagai niat baik menyelamatkan warga Gaza dari wilayah peperangan tidak lain hanyalah tipu muslihat yang bertujuan menjajah dan menindas kaum muslimin.
Allah Taalaa menjelaskan tentang kebencian mendalam kaum kafir dalam firmanNya, yang artinya “Orang-orang Yahudi tidak akan ridha kepada kamu, dan tidak pula orang-orang Nasrani, hingga kamu mengikuti millah mereka. Katakanlah: Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar). Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (TQS al-Baqarah : 120).
Kemuliaan Hakiki adalah Keberanian Berdasarkan Keimanan
Sikap paling tepat bagi para penguasa negeri kaum muslimin dalam menanggapi gagasan batil evakuasi rakyat Gaza adalah dengan menolaknya sebagaimana perintah Allah Taalaa di atas. Ketika penguasa negeri kaum muslimin bersikap tepat berdasarkan tuntunan Ilahi, maka perlindungan, pertolongan dan limpahan rahmat Allah Taalaa akan selalu menaungi negeri kaum muslimin.
Sebaliknya manakala para penguasa negeri kaum muslimin mengikuti kemauan kaum kafirin dengan berbagai alasan dan dalih kemanusiaan apapun, maka artinya kita telah mengabaikan peringatan Allah Taalaa. Berpaling dari peringatan Allah Taalaa maknanya adalah menyerahkan diri dan rakyat yang dipimpinnya terhadap kepedihan serta kesengsaraan yang bakal menimpa di dunia dan akhirat atas kezhaliman lebih lanjut yang bakal dilakukan para penguasa negeri kafir laknatullah.
Sudah selayaknya penguasa negeri kaum muslimin mencontoh keberanian sikap berdasarkan keimanan terhadap Allah Taalaa sebagaimana ditunjukkan Khalifah Utsmaniyah, Sultan Hamid II. Pada saat Pemimpin gerakan Zionisme Internasional Theodore Herzl membujuk Sultan Abdul Hamid II agar mau menjual bumi Palestina kepada mereka, Sultan menolaknya dengan tegas. Walaupun pada saat itu Khilafah Utsmaniyah mengalami kondisi krisis keuangan parah akibat hutang yang menggunung, situasi tersebut tidak dijadikan alasan untuk tunduk terhadap kemauan dan tekanan penguasa kafir. Wallahu alam bisshowab. [LM/ry].