SDA Migas di Balik Polemik Kepemilikan Pulau

20250624_063735

Oleh: Lilik S

Sidoarjo

 

LenSaMediaNews.Com–Status kepemilikan wilayah Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang menjadi polemik antara Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatra Utara. Polemik ini muncul setelah Mendagri Tito Karnavian melalui Kepmendagri No. 300.2-2138/2025 yang terbit pada 25 april 2025 menetapkan bahwa keempat pulau tersebut secara administratif milik Sumatra Utara (tempo.co, 13-6-2025)

 

Sedangkan sebelumnya sesuai kesepakatan antara Gubernur Aceh Ibrahim Hasan dan Gubernur Sumut Raja Inal Siregar pada tahun 1992 keempat pulau itu secara administratif masuk wilayah Aceh Singkil. Dan secara sejarah, dasar historisnya lebih kuat yakni merujuk pada UU 24/1956 dan perjanjian Helsinki 2005.

 

Di tengah keputusan mendagri atas berpindahnya empat pulau tersebut, mencuat spekulasi berkaitan dengan potensi sumber daya alam (SDA), khususnya minyak dan gas bumi. Keempat pulau tersebut diperkirakan kaya akan cadangan migas.

 

Pada tanggal 10 juni 2025 Gubernur Sumut Bobby Nasution menemui Gubernur Aceh Muzakir Manaf untuk membicarakan hal itu dan mengajak untuk berkolaborasi guna mengelola potensi SDA tersebut bersama-sama sehingga bisa dijadikan cadangan sumber pendapatan asli daerah.

 

Otonomi Daerah Memicu Disintegrasi

 

Indonesia menganut sistem Demokrasi Kapitalisme. Potensi kekayaan SDA empat pulau itu begitu menggiurkan untuk diabaikan. Dengan sifat rakusnya, para Kapitalis berusaha untuk menguasainya dengan segala cara, salah satunya mengubah tata aturan dan perundang-undangan sesuai kepentingan mereka. Dan mereka menang,  karena  kekuatan uang dan modal besar mereka.

 

Polemik empat pulau itu muncul karena Indonesia menggunakan sistem otonomi daerah dalam pengelolaan pemerintahan daerahnya. Otonomi daerah lahir dari sistem Demokrasi sekuler sebagai hasil pemikiran negara-negara barat pasca revolusi industri dan modernisasi pemerintahan.

 

Otonomi daerah memberi wewenang penuh pada masing masing daerah untuk mengatur urusan pemerintahannya dan mengatur pendapatan daerah. Otonomi daerah bisa memicu perbedaan taraf hidup di masing-masing daerah, juga memicu kecemburuan sosial terhadap daerah yang memiliki pendapatan asli daerah (PAD) tinggi.

 

Kondisi ini bisa lebih buruk lagi sampai bisa memicu disintegrasi wilayah, yang berdampak negara jadi lemah secara politik, pemerintahan, maupun kedaulatan. Hal ini makin menguntungkan para kapitalis untuk terus menjajah dan mengeksploitasinya.

 

Islam Solusi Hakiki

 

Sistem Islam mengelola seluruh wilayah muslim di atas akidah islam, jadi tidak ada celah asas manfaat bagi para pejabat untuk berlaku khianat, baik kepada pemimpin yang lebih tinggi atau pada jabatan yang diembannya. Sistem Islam tegak dengan tiga pilar, yaitu faktor ketakwaan individu, kuatnya kontrol masyarakat dalam beramar makruf nahi mungkar, dan tegasnya sistem sanksi negara.

 

Dalam politik pemerintahan, sistem Islam menggunakan asas sentralisasi yang menetapkan adanya pengelolaan wilayah secara sentralistik. Semua kekayaan dikelola negara untuk kepentingan semua rakyat.  Negara bertanggung jawab penuh mewujudkan kesejahteraan umat secara merata di seluruh wilayah.

 

Untuk wilayah-wilayah yang kaya SDA tidak lantas memiliki posisi eksklusif, tidak ada kesenjangan dengan provinsi lain sehingga tidak memicu sengketa perebutan wilayah.

 

Ini sebagaimana penjelasan dari Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah dalam kitab “Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam (Sistem Ekonomi Islam)”, bahwa kesejahteraan di dalam Khilafah tidak membuahkan kesenjangan, baik antarwarga atau antarwilayah. Ini karena konsep kesejahteraan ekonomi Khilafah berprinsip pada tercapainya pemenuhan kebutuhan primer (sandang, pangan, dan papan) warga secara individu per individu. Jadi negara akan berlaku adil dalam mengurus umatnya.

 

Dan juga dalam kitab “Nizham al-Hukmi fi al-Islam (Sistem Pemerintahan Islam)”, Syekh Abdul Qadim Zallum rahimahullah menyebutkan, bahwa di dalam Islam tidak ada batas-batas teritorial secara permanen. Ini karena hukum mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia adalah wajib sehingga batas-batas teritorial itu akan berubah dengan meluasnya kekuatan Islam.”

 

Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadis dari Arfajah yang berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, “Siapa saja yang datang kepada kalian, sedangkan urusan kalian berkumpul di tangan seseorang (khalifah) kemudian dia hendak merobek kesatuan kalian dan memecah belah jemaah kalian maka bunuhlah.” Hadis ini bermakna larangan memecah belah dan membagi-bagi negara karena termasuk upaya melepaskan diri (disintegrasi).

 

Dengan perannya sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (perisai) maka Khalifah serius menjalankan perannya sebagai penguasa negara Islam untuk melayani umat serta bertanggung jawab penuh dalam menjaga persatuan umat menurut syariat Islam kafah. Wallahualam bissawab. [LM/ry].