Kapitalisme Ugal-ugalan dan Jalan Tengah yang Menyesatkan

Orange Photocentric Coming this fall Facebook Post_20250622_203715_0000

Oleh: Nettyhera

(Pengamat Kebijakan Publik)

Lensa Media News – Presiden Prabowo Subianto dalam Forum Ekonomi Internasional St. Petersburg (SPIEF) di Rusia melontarkan kritik pedas terhadap sistem kapitalisme global. Ia menyebut sistem ini sebagai “kapitalisme ugal-ugalan” yang selama 30 tahun terakhir telah gagal menghadirkan keadilan ekonomi. Bukan tanpa alasan, dunia memang menyaksikan bagaimana 1 persen orang terkaya menguasai lebih dari separuh kekayaan dunia, sementara lebih dari 700 juta orang masih hidup dalam kemiskinan ekstrem. (CNN Indonesia, 20/6/2015)

Namun di saat yang sama, Presiden Prabowo juga menawarkan apa yang disebutnya sebagai jalan tengah antara kapitalisme dan sosialisme. Ia mengajak negara-negara untuk mengadopsi sistem ekonomi yang memadukan kebebasan berusaha dan peran negara yang kuat demi keadilan sosial. Pendekatan ini seolah mengesankan bahwa solusi dari krisis kapitalisme adalah versi “jinak” dari sistem yang sama, campuran kapitalisme dan intervensi sosialisme.

Sayangnya, upaya mencari titik tengah ini justru mengaburkan masalah mendasarnya. Kapitalisme dan sosialisme sejatinya bukan dua kutub yang dapat dikompromikan. Kapitalisme berpijak pada kepemilikan pribadi atas alat produksi dan prinsip keuntungan maksimal, sementara sosialisme berupaya menghapus kepemilikan pribadi dan menggantinya dengan kepemilikan kolektif oleh negara. Dua sistem ini sama-sama berangkat dari asas sekularisme, yakni memisahkan urusan kehidupan dari agama. Maka, keduanya sama-sama menafikan wahyu sebagai sumber hukum dan panduan hidup.

Kegagalan kapitalisme bukan sekadar soal distribusi yang timpang. Ia adalah sistem yang sejak awal meletakkan kebebasan individu sebagai asas—termasuk kebebasan memiliki kekayaan sebanyak-banyaknya, meski dengan cara yang zalim, eksploitasi sumber daya, penghisapan tenaga kerja murah, hingga privatisasi kebutuhan pokok. Ketika pemerintah mencoba “menjinakkan” kapitalisme dengan regulasi dan program bantuan sosial, hasilnya hanya tambal sulam yang tidak pernah menyentuh akar persoalan.

Sebaliknya, sosialisme yang mencoba mengambil alih total peran negara dalam ekonomi pun tumbang karena bertentangan dengan fitrah manusia, yang butuh ruang berinovasi, berusaha, dan memiliki. Maka, jalan tengah di antara dua sistem cacat bukanlah solusi, melainkan kompromi yang melelahkan dan tidak menyelesaikan krisis.

 

Sistem Ekonomi Berbasis Wahyu

Islam bukan sekadar agama spiritual, tapi sistem hidup yang lengkap, termasuk sistem ekonomi. Dalam Islam, kekayaan adalah titipan Allah dan penggunaannya harus sesuai syariat. Islam menetapkan bahwa kepemilikan terbagi menjadi tiga: milik individu, milik umum (seperti sumber daya alam), dan milik negara. Sumber daya vital seperti tambang, air, hutan, dan energi tidak boleh dimiliki swasta apalagi asing. Negara wajib mengelolanya untuk kepentingan rakyat.

Prinsip ini sangat berbeda dari kapitalisme, yang membuka selebar-lebarnya privatisasi. Dalam Islam, negara juga tidak bertugas menjadi pengusaha, tetapi sebagai pengatur dan pelayan. Negara mengelola kekayaan milik umum, menyalurkannya kepada rakyat secara adil, dan mencegah penumpukan kekayaan di segelintir tangan.

Islam juga melarang riba, monopoli, penimbunan, dan penipuan dalam perdagangan. Sistem zakat, sedekah, dan warisan adalah mekanisme alami distribusi kekayaan yang menyentuh langsung masyarakat lapisan bawah. Tak hanya itu, dalam Islam, pendidikan dan kesehatan adalah hak rakyat yang wajib diberikan negara secara gratis dan berkualitas.

 

Ekonomi Sejahtera di Masa Khilafah

Sejarah mencatat bahwa ketika sistem Islam diterapkan secara kaffah dalam institusi Khilafah, keadilan ekonomi benar-benar terwujud. Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, misalnya, zakat tak tersalurkan karena tak ada lagi warga miskin yang layak menerima. Negara membiayai pertanian, mengembangkan infrastruktur, memberi gaji tetap kepada pengajar, dan menjamin kebutuhan dasar setiap rakyat tanpa utang luar negeri ataupun pajak mencekik.

Bandingkan dengan kondisi saat ini: kekayaan negeri dijarah investor asing, rakyat dibebani utang dan pajak, sementara akses terhadap pendidikan dan kesehatan makin sulit. Semua ini akibat sistem yang salah, yakni sistem kapitalisme yang dipertahankan dengan wajah “baru” bernama jalan tengah.

 

Kembali ke Islam Kaffah

Pidato Presiden Prabowo seharusnya menjadi titik tolak untuk meninjau ulang sistem ekonomi yang selama ini kita anut. Bukan dengan mencari tambalan atau “jalur tengah”, tapi dengan berani meninggalkan sistem gagal dan menggantinya dengan sistem yang benar-benar berasal dari Sang Pencipta manusia: Islam.

Sudah saatnya umat Islam, termasuk para pemimpinnya, menyadari bahwa solusi bagi krisis global, termasuk ketimpangan ekonomi, hanya akan ditemukan dalam penerapan Islam secara menyeluruh. Bukan dalam kapitalisme jinak, bukan dalam sosialisme paternalistik, tapi dalam syariat Islam yang diterapkan oleh institusi politiknya, yaitu Khilafah.

Dengan sistem ini, bukan hanya kekayaan dapat didistribusikan secara adil, tapi juga martabat manusia dijaga, dan keberkahan negeri akan hadir. Karena Allah telah menjanjikan, jika penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, maka Dia akan bukakan pintu keberkahan dari langit dan bumi (QS Al-A’raf: 96).

 

[LM/nr]