Kuatnya Korporatokrasi dalam Kasus Pagar Laut

 


Oleh: Nita Ummu Rasha

 

 

Lensamedianews.com__ Kasus pagar laut di Tanggerang masih menjadi perbincangan dikalangan masyarakat. Meskipun menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid, telah menjatuhkan sanksi pemberhentian atau pencopotan jabatan kepada delapan pejabat Kantor Pertanahan Tangerang yang terlibat kasus pagar laut tersebut nyatanya tidak menyelesaikan masalah dan tidak membuat masyarakat menjadi puas karena para pejabat itu hanyalah sebagian yang terlibat sedangkan dalang utama dibalik kasus tersebut belum terungkap.

 

 

Kasus pagar laut jelas suatu pelanggaran hukum yang harus segera ditindak tegas, namun nyatanya negara tidak segera menindaklanjuti kasus tersebut dan membawanya ke ranah pidana. Yang ada negara hanya diam seperti berlepas tangan dan membiarkan.

 

 

Juru kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jakarta, Muhammad Aminullah, menilai kasus pagar laut Tangerang akan menjadi antiklimaks jika tidak ada aktor intelektual dan lapangan yang diseret pidana. Pemecatan pejabat terlibat tak cukup sebagai hukuman bagi pelaku perampasan ruang laut. Sebab, adanya perampasan ruang yang dibiarkan, justru menandakan negara tunduk pada segelintir kelompok pebisnis. (Tirto.id)

 

 

Dalam hal ini terlihat jelas ada sekelompok orang yang ingin menguasai wilayah laut negara kita. Sedangkan dalam Islam, umat  berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Abu Dawud, dan Ahmad. Hadis ini menyatakan bahwa air, padang rumput, dan api merupakan fasilitas umum. Berdasarkan hal ini, laut terkategori milik umum bagi seluruh rakyat. Tidak boleh ada individu (perorangan maupun korporasi) yang memiliki laut. Demikian pula, tidak boleh ada individu yang menguasai/memagari laut.

Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada penguasaan (atas harta milik umum) kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya.” (HR Bukhari). Artinya, tidak ada penguasaan/pemagaran atas harta milik umum, kecuali oleh negara.

 

 

Dalam kasus ini menunjukkan kuatnya korporasi dalam lingkaran kekuasaan, atau disebut juga dengan istilah korporatokrasi. Lahirnya konsep korporatokrasi ini tidak lepas dari prinsip liberalisme dalam sistem ekonomi kapitalisme sehingga munculah aturan yang berpihak pada oligarki. Negara tunduk pada para korporat sehingga para pejabat negara menjadi fasilitator penindasan terhadap rakyat.
Rakyat menjadi tumbal keserakahan para pemilik modal. Akibatnya, rakyat mengalami intimidasi karena negara tidak menjalankan perannya sebagai pengurus (raa’in) dan perisai (junnah). Negara hanya berperan menjadi regulator yang bergerak sesuai dengan arahan para oligarki kapitalis, ini sungguh berbeda dengan profil negara dalam Islam.

 

 

Negara Islam berperan sebagai pengurus (raa’in) dan pelindung (junnah) bagi rakyatnya.

Rasulullah saw. bersabda, “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR Bukhari). Juga dalam hadist, “Sesungguhnya imam (khalifah) itu junnah (perisai), (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Wallahu’alam bishshawab.