Pajak Bukti Neoliberalisme

Oleh : Isnawati
LensaMediaNews- Neoliberalisme adalah kata yang cukup sering didengar di tengah-tengah masyarakat. Istilah ini muncul pasca perang dunia kedua. Dalam mengkaji neoliberalisme tidak bisa spesifik hanya sebagai ilmu ekonomi saja karena hakekatnya lebih dari itu. Neoliberalisme adalah sebuah ideologi yang memberikan gagasan-gagasan tentang berbagai dimensi dalam kehidupan.
Gagasan-gagasan tersebut berupa deregulasi yang siap memangkas kebijakan yang ada, seperti menolak campur tangan pemerintah dengan tujuan mencampakkan hegemoni sebuah negara. Alhasil berbagai macam konsekuensi harus dialami seperti hilangnya Badan Usaha Milik Negara, privatisasi kekayaan alam dan pajak yang memalak rakyat.
Membabibutanya pajak adalah salah satu bukti neoliberalisme, di mana rakyat menjadi obyek pemerasan. Sehingga lahirlah berbagai cara pengakalan pajak salah satunya melalui Tax Avidance dan Tax Evasion untuk menghindari pajak.
Kukejar dan kutangkap mungkin itulah slogan yang pantas disematkan dalam memburu pajak. Walau pindah bank sekalipun, pasti akan kembali ke ansuransi yang tetap akan dilaporkan, kecuali kalau mau menggali sumur di belakang rumah, uangnya ditanam di situ tutur mantan direktur pelaksana Bank Dunia, Sri Mulyani (Detikfinance.com, 02/8/ 2019 ).
Ketika ambisi menjadi landasan sebuah kebijakan dan karena adanya dorongan kebutuhan dana yang super jumbo untuk pembiayaan, tentu menggenjot pajak menjadi sebuah keharusan. Pajak menjadi solusi yang abadi. Perihnya kemiskinan, kesengsaraan rakyat hanyalah nyanyian pilu yang dianggap akan berlalu, rakyat dipecut untuk selalu membayar pajak dengan rutin dan tepat waktu. Neoliberalisme benar-benar mematikan rasa dan logika pemilik kekuasaan dalam mengatur rakyatnya.
Solusi yang ditawarkanpun parsial sebatas pemangkasan bugdet, meningkatkan pajak, menambah utang atau menjual aset milik negara. Memangkas anggaran dan meggenjot pajak memang bisa menghasilkan uang tetapi hanya bisa untuk mencicil utang dan yang didapatkan sebatas pujian dari kreditur untuk memudahkan mendapat utang kembali.
Kesalahan landasan pijakan dan tidak kreatif dalam membenahi telah membunuh pertumbuhan ekonomi rakyat. Pajak menjadi salah satui instrumen untuk membangun negara. Sampai-sampai ada ungkapan: tanpa pajak negeri ini sudah ambruk. Ungkapan yang menusuk jantung tersebut tidaklah berlebihan karena memang kontribusi pajak terhadap penerimaan negara yang tercatat di APBN cukup besar.
Pajak menjadi salah satu sumber pendapatan, tentu tidak bisa dielakkan. Pengaturan negara penganut demokrasi berbeda dengan negara yang diatur dengan Syariat Islam. Dalam Islam pajak dipungut jika baitul maal dalam keadaan kosong. Tidak ada harta sama sekali.
Dalam penarikannyapun tidak boleh membabi buta, hanya pada orang kaya dan mampu saja sesuai standar syariat. Pendistribusiannya sesuai dengan tujuan dan bersifat sementara, bukan menjadi pemasukan yang tetap. Pajak akan dihapus setelah darurat telah hilang.
Sejarah telah menggambarkan bahwa Khilafah tidak pernah melakukan pemungutan pajak secara serampangan terukir indah di benak umat. Kas negara selalu melimpah sampai-sampai khalifah kesulitan mendistribusikan karena rakyat sudah sejahtera dan ketenangan sudah dimiliki.
Penerapan Islam secara Kaffah adalah solusi yang menuntaskan masalah tanpa masalah lagi dalam kehidupan. “Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian haram untuk kalian langgar satu sama lain.” ( HR. Bukhari Muslim)
Wallahu a`lam biashowab.
[LS/Ry]
