Paradoks Kebijakan AS dan Lemahnya Negeri Muslim

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
LenSaMediaNews.Com, Opini–Sejak penetapan tarif resiprokal terbaru dari Amerika Serikat (AS) sebesar 32 persen dari sebelumnya 10 persen, membuat pemerintah Indonesia mempersiapkan berbagai langkah strategis, yaitu dengan negoisiasi. Dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mendukung keputusan tersebut, sebagaimana yang disampaikan Ketua Umum Kadin Indonesia Anindya Novyan Bakrie, inilah menurutnya sebuah langkah yang tepat (republika.co.id, 5-4-2025).
AS adalah mitra bisnis strategis Indonesia. Hal itu tercermin dalam neraca perdagangan kedua negara dan investasi. Hubungan Indonesia dan AS adalah hubungan saling membutuhkan jelas Anindya lagi. Didukung dengan posisi geopolitik dan geoekonomi Indonesia, pernyataan Trump merupakan opening statement untuk dibukanya negoisasi.
Posisi Indonesia juga sangat strategis di Kawasan Pasifik. Selain bagian dari kekuatan ekonomi ASEAN, Indonesia adalah anggota APEC yang strategis. Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia dan pimpinan negara nonblok, juga tentu bisa menjadi pertimbangan Trump.
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai pemerintah Indonesia perlu bersikap hati-hati dalam menyikapi tensi dagang global, sebaiknya tidak tergesa-gesa merespon kebijakan perdagangan AS dengan tindakan balasan atau realisasi. Jalur diplomasi masih jauh lebih baik, hal itu sebagaimana disampaikan oleh Direktur Pengembangan Big Data Indef Eko Listiyanto dalam diskusi publik Indef bertajuk ” Perang Dagang dan Guncangan Pasar Keuangan di Jakarta (republika.co.id, 17-4-2025).
Indonesia belum tentu cocok bersikap reaktif sebagaimana Cina, sebab ada perbedaan kapasitas ekonomi yang sangat signifikan. Dengan kata lain, Cina punya modal untuk melawan AS, pasar Cina luas, SDM Cina banyak dan trampil, Cina negara Industrial dan memang sudah semakin maju baik dari infrastruktur maupun teknologi.
Lebih baik Indonesia fokus pada proses pembangunan untuk lebih memperkuat pertumbuhan dan kemandirian ekonomi terlebih dahulu. Apalagi neraca perdagangan Indonesia-AS cenderung surplus. Maka wajib tetap menjaga hubungan baik dengan AS.
Potensi Luarbiasa Sayang Terjajah Sistem Kapitalisme
Negoisasi dan terus membina hubungan baik dengan AS menunjukkan sesungguhnya Indonesia lemah di hadapan AS. Umat Islam dengan segala potensinya yang luar biasa bak pelandun yang mati di tengah pertarungan gajah. Padahal situasi yang benar adalah kaum muslim itulah gajahnya.
Negeri-negeri muslim ketika disatukan akan benar-benar menjadi raksasa dunia, baik dari demografinya, wilayahnya, sumber daya ekonominya, dan lainnya. Namun karena penerapan sistem Kapitalisme di negeri inilah kita terpecah belah. Saking lemahnya hingga setia menjadi pengikut dari negara-negara besar.
Cendekiawan muslim Ustaz Ismail Yusanto (UIY) menyatakan, menghadapi tarif dagang yang ditetapkan Amerika Serikat (AS), tidak ada negeri Islam yang berani head to head melawannya sebagaimana Cina. Sangat beliau sesalkan mengingat umat Islam sesungguhnya punya potensi besar untuk sekadar menjadi penonton bahkan korban korban dari perang tarif atau perang dagang ini yang memunculkan dua kompetitor besar, yaitu AS dan Cina (muslimahnews.net, 20-4-2025).
Perang dagang ini, menurut UIY jelas didorong oleh politik Nasionalisme Chauvinistik sebagaimana slogan yang diusung Trump saat kampanye Pilpres, yaitu make America great again atau America first. Trump sangat sadar bahwa ekonomi AS sebenarnya tidak baik-baik amat. Utang AS sekitar 18.000 triliun US$.
Secara teknis, sebenarnya AS sudah gulung tikar. Tetapi karena masih bisa memaksakan pemakaian dolar AS untuk denominasi berbagai kepentingan ekonomi dunia dan perdagangan internasional, maka AS masih bisa mempertahankan nilai mata uangnya terhadap mata uang yang ada di berbagai negara. Inilah mengapa AS memaksakan penerapan pasar bebas yang kemudian bisa menguasai dunia.
AS menghapus barrier to entry, baik kuota maupun fiskal sehingga lahirlah WTO. Tetapi belakangan, AS menyadari bahwa itu ternyata tidak sepenuhnya baik buat dia. Mengapa? Karena dengan dibukanya pasar, produk dia ternyata tidak kompetitif dan itu sudah terasa. Inilah yang sedang dilawan Trump. Sebuah paradoks telah diperlihatkan AS yang begitu mendorong pasar bebas NAFTA (North American Free Trade Agreement) diikuti CHAFTA (China-Australia Free Trade Agreement) dan lainnya, hari ini ia menetapkan era proteksionisme.
Islam Harapan Baru Perubahan Baru Global
Jelas, kapitalisme telah semakin melemah dan gagal mewujudkan kesejahteraan. AS telah kehabisan cara, rakyat global pun sudah semakin menyadari itu. Hegemoni AS hampir menuju ajak, satu kesempatan emas bagi kita muslim yang meyakini janji Allah SWT.( TQS an Nur: 55).
Maka, jelas yang kita harus perjuangkan, yaitu mensegerakan janji Allah itu terwujud dengan menyadarkan umat dengan pemahaman Islam yang sahih dan kafah. Islamlah yang seharusnya kini mengambil kepemimpinan dunia, menghilangkan kezaliman dan menciptakan keadilan. Wallahualam bissawab. [LM/ry].
