Undang-Undang Bermasalah, Siapa yang Salah?

Oleh: Kqsna Mercy Cahyani W.
LensaMediaNews – Di akhir masa lengsernya DPR-RI periode 2014/2019, tiba-tiba banyak undang-undang maupun rancangan undang-undang yang dikeluarkan dan disahkan secara kilat oleh DPR. Sebut saja revisi Undang-Undang KPK, Rancangan Undang-Undang KUHP (RUU KUHP), Undang-Undang Pertanahan, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS), dan lain sebagainya.
Hal ini tentu menuai banyak tanggapan dari masyarakat, baik positif maupun negatif. Hampir di setiap wilayah Indonesia mahasiswa melakukan aksi, begitu pula yang terjadi di Surabaya. Pada tanggal 26 September 2019 lalu, aliansi mahasiswa se-Surabaya turun ke depan Gedung DPRD (www.surabaya.liputan6.com, 26/09/2019).
Menurut mereka bukan hanya dari segi prosesnya, tapi dari segi isi UU yang dikeluarkan itu bermasalah. Mulai dari UU KPK yang bepotensi melemahkan KPK, RUU KUHP yang akan semakin menindas dan membungkam rakyat, Undang-Undang Pertanahan yang akan menginjak-injak nasib rakyat dan petani, dan lain-lain. Sehingga, aksi besar-besaran ini merupakan gugatan dan wujud penolakan atas undang-undang dan rancangan undang-undang kontroversial tersebut.
Sebenarnya jika kita mau menoleh ke belakang, bukan hanya kali ini saja penguasa dan wakil rakyat mengeluarkan undang-undang bermasalah. Kapanpun periodenya, siapapun pemimpinnya. Dan terus berulang, pelakunya pun bukan 1 atau 2 orang, tapi satu lembaga penuh secara kompak mengiyakan lahirnya ragam undang-undang bermasalah ini. Ini bukan lagi oknum, tapi kerusakan yang masif dan terencana.
Sehingga, masalah lahirnya dan penerapan undang-undang bermasalah ini bukan sekadar salah orang-orang di dalam kepemimpinan, tapi pada sistem yang diterapkan yaitu sistem demokrasi. Sistem demokrasi berasaskan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, serta menjunjung tinggi nilai kebebasan individu. Sehingga berangkat dari asasnya, kekuasaan dan kedaulatan (wewenang membuat aturan dan hukum) berada di tangan rakyat.
Hal ini membuat perlu adanya wakil-wakil rakyat (dewan legislatif) untuk mewakili suara seluruh rakyat membuat hukum dalam mengatur negara. Karena pembuat dan sumber hukum berasal dari manusia, maka aturan-aturan yang diterapkan dalam sistem demokrasi adalah aturan buatan manusia yang serba terbatas dan mengedepankan nafsu belaka.
Maka tak heran jika wakil rakyat dalam hal ini DPR yang mereka juga seorang manusia mengeluarkan paket kebijakan yang bermasalah. Karena sumber hukum berasal dari pemikiran-pemikiran mereka yang terbatas. Padahal sejatinya yang berhak untuk membuat hukum adalah Dzat Yang Maha Tahu akan manusia dan kehidupan, yaitu Allah Ta’ala .
“… Keputusan (membuat hukum) sesunggunya hanyalah milik (wewenang) Allah…” (Q.S. Yusuf 12: 40).
Sehingga, merupakan sebuah tindakan gegabah jika mahasiswa dan masyarakat hari ini melakukan aksi responsif jika hanya menuntut penolakan atas dikeluarkannya kebijakan bermasalah. Padahal, duduk perkara sebenarnya ada pada penerapan sistem jahiliyah buatan manusia yeng serba terbatas, yaitu demokrasi.
Jika kita hanya memfokuskan perjuangan pada penolakan undang-undang bermasalah, tanpa adanya kesadaran untuk mengubah sistem demokrasi, kita hanya berusaha mengulur nasib buruk berulang yang akan terjadi. Sudah seharusnya perjuangan masyarakat hari ini adalah menuntut perubahan penerapan sistem pemerintahan demokrasi menjadi sistem pemerintahan Islam, yaitu Khilafah yang setiap perintilan aturannya bersumber dari Allah Yang Maha Menciptakan.
Islam memposisikan kekuasaan ada di tangan rakyat, namun kedaulatan ada di tangan Allah semata. Selain aturan Allah adalah aturan terbaik, menerapkan aturan Allah di atas muka bumi juga merupakan perintah dan bukti atas keimanan kita sebagai hamba yang yakin.
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih bak daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Q.S. Al-Maidah [5]: 50).
Wallahu a’ lam biashowab.
[LS/Ry]
