Kebijakan Reaksional Hanya Giat Saat Viral

Kebijakan-LenSaMedia

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih

Institut Literasi dan Peradaban

 

LenSaMediaNews.Com–Perubahan politik beberapa bulan ini memang sangat fluktuatif, pejabat banyak aksi, rakyat bereaksi, ternyata pemerintah lebih reaksional. Pasca aksi demonstrasi dan penjarahan akhir Agustus lalu yang berujung munculnya tuntutan rakyat 17+8, Pemkot Surabaya menetapkan aktifasi siskamling sekaligus meratifikasi kebijakan Kemendagri, dalam rangka mengantisipasi berulangnya aksi serupa.

 

Kemudian pasar murah, sebagai ratifikasi kebijakan Kementan demi stabilitas harga dan ketahanan pangan. Berikutnya , memperketat pengawasan terhadap rumah kos atau kontrakan di seluruh wilayah Kota Pahlawan sebagai reaksi kasus mutilasi sadis di salah satu rumah kos di Surabaya, dimana pelakunya sepasang anak muda yang hidup bersama tanpa ikatan pernikahan (memorandum.co.id, 22-9-2025).

 

Kepala Satpol PP Kota Surabaya, Achmad Zaini, menyampaikan bahwa yustisi (operasi kos-kosan) sudah berlangsung sejak 2023. Diatur dalam Perda Nomor 3 Tahun 1994 tentang Usaha Pemondokan di Surabaya dan Perwali Nomor 79 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Usaha Pemondokan.

 

Karena ada 1.360 RW dan 9.000 lebih RT yang ada di Kota Surabaya dengan luas wilayah yang demikian besar, Zaini memaklumi rencana Wali Kota Eri Cahyadi, selain yustisi (operasi kos-kosan) juga mengefektifkan kembali Kampung Pancasila. Karena memang butuh peran semua pihak.

 

Sistem Kapitalisme Ciptakan Bencana Berulang

 

Pemerintah memang tidak tinggal diam ketika ada masalah di tengah masyarakat. Sayang, kapasitas kebijakan itu masih cenderung reaksional. Hanya giat ketika viral, sementara jika tidak ada kejadian spesifik tenang tak berombak.

 

Padahal, dalam Sistem Kapitalisme yang diterapkan hari ini, bencana seperti sebuah siklus yang bakal berulang secara periodik. Bahkan semakin besar dampak negatifnya. Terbukti meski aturan telah ditegakkan, peraturan walikota sudah disahkan, kejadian pembunuhan berujung mutilasi tetap ada. Karena Kapitalisme itu sendiri sebagai sumber persoalan tidak dicabut.

 

Sistem Kapitalisme menciptakan masyarakat yang egois, mereka sudah terlalu lelah berjuang menghidupi diri sendiri dan keluarganya tanpa ada support negara. Saling peduli dan ingat mengingatkan memudar seiring dengan pemahaman ,” ah..itu kan masalah dia ,bukan masalahku”. Sehingga setiap perilaku yang mengarah kepada kejahatan jarang terdeteksi kecuali setelah viral.

 

Serius! Ini bukti pemerintah gagal menciptakan kesejahteraan bagi rakyat. Biaya hidup yang tinggi, melemahnya daya beli, sempitnya lapangan pekerjaan hingga maraknya PHK telah benar-benar membuat masyarakat depresi. Didorong oleh tayangan media sosial yang sekali lagi pemerintah tidak kuasa memblokir dengan alasan kekurangan teknologi.

 

Pikiran yang depresi jiwa yang kering karena sistem ini memaksa setiap orang untuk bertindak sekuler ( memisahkan aturan agama dari kehidupan), menciptakan suasana bak di dalam rimba. Siapa kuat dia menang. Berlakulah aturan manusia yang memuja kebebasan tanpa batas, bukan hanya auratnya yang terbuka meski mereka Islam bahkan hingga keputusan hidupnya untuk kumpul kebo demi hemat biaya sangat marak dilakukan.

 

Sistem Kapitalisme juga menjadikan sanksi dan hukum transaksional, siapa berani bayar maka ia akan mendapatkan “ keadilan”, kasusnya ditutup, hukuman bisa dikurangi, dan kriminal apapun sangat ringan hukumannya, yaitu penjara. Sementara dalam Islam, ada qishos, permintaan dari keluarga korban untuk pelaku diperlakukan yang sama, nyawa ganti nyawa dan seterusnya.

 

Islam Wujudkan Rahmatan Lil Alamin

 

Rasûlullâh Saw. bersabda, “ “Imam/Khalifah adalah penggembala (raa’in), dan dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya.”(HR. Bukhari dan Muslim).

 

Artinya, seorang pemimpin pantang berdiam diri menikmati hangatnya kursi kekuasaan. Namun ia harus bekerja keras mewujudkan masyarakat yang sejahtera, Allah akan meminta pertanggungjawabnya kelak di akhirat.

 

Dalam Islam akan ada tiga pilar yang menjamin kehidupan sejahtera, yaitu individu yang taat dan bertakwa, masyarakat yang bertakwa dan beramar makruf nahi mungkar dan negara yang menerapkan syariat. Ketiganya tidak bisa dipisahkan, sehingga praktis tidak ada kebebasan mutlak, semua memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama-sama akan dimintai pertanggungjawaban.

 

Maka, tidak ada cara lain selain mengembalikan peraturan hidup ini kepada aturan Allah SWT., Zat yang tak memiliki kepentingan apapun terhadap makhluk ciptaannya. Sikap taat sejatinya kembali untuk manusia itu sendiri. Allah SWT. Berfirman, “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?“. (TQS Al-Maidah:50). Wallahualam bissawab.